Idealnya, ruang publik berfungsi secara beradab. Dan dinamika politik beserta aneka retorika dalam slogan yang diapungkan politisi, adalah sebagai inisiasi kebudayaan bukan pamer atau transaksi kekuasaan.
Menyerang adalah pertahanan terbaik! Taktikal timnas "samba" Brasil era pele, dijadikan acuan. Mesti lincah menyigi celah di lini pertahanan. Ini, adalah kredo para Sloganer kekinian.
Tak peduli! Apakah menghembus nasi yang sudah basi. Memompa ban kereta api, ataupun menggantang asap ke dalam karung goni. Selalu ada ruang!
Pertemanan sebatas uji nyali tingkat permainan. jika nyali habis, perlawanan usai. Segera ditutup senyuman dan terburu bertukar salam.
Aih! Sloganers akan hadir bak bumbu dapur pada ragam masakan. Bisa menjelma menjadi sahang yang pedas, jahe yang panas atau keras bak lengkuas! Bisa juga seperti kunyit yang mampu mengubah warna.
Tapi, garam yang punya hak preogratif menentukan rasa. Apapun aneka bumbu yang digunakan. Begitu, kah? No! Sloganer tahu! Bukan garam yang menentukan rasa. Tapi "rasa" si penabur garam itu!
The Real Sloganer. Tak pernah hadir saat menciptakan momentum. Tapi, ia akan muncul untuk mengubah momentum. Umumnya, Sloganer masa kini, tak mampu berkarya! Tugasnya hanya menguji dan mengeja karya. Ahaaay...
Terus? Slogan atau Sloganer adalah bunga di taman publik. Akan melalui fase tumbuh, mekar, layu dan mati. Namun dampak yang dihadirkan, tidak sesederhana fase-fase itu.
Negara harus hadir dengan kekuasaan yang dimilikinya. Mengintervensi ruang publik secara etis untuk memelihara kedamaian dan ketentraman rakyat menjalankan nilai-nilai pilihannya.Â
Bukan membiarkan manusia sesukanya memaknai kebebasan. Tapi menghormati manusia dengan inti kemanusiaannya. Yaitu kebebasan yang bertanggungjawab.
Semoga begitu, ya?