Keempat, Jarang Diketahui Penciptanya. Lagu daerah tidak diketahui penciptanya, tidak tertulis, dan sifatnya bukan semata-mata untuk tujuan komersial. Semisal apuse, jali-jali atau cing cangkeling.
Kukira, Jika berpijak dari 4 kategori ini, bakal mudah memasukkan serta membedakan kategori lagu daerah dan lagu berbahasa daerah, kan? Atau sesungguhnya ada kategori baku untuk mengklasifikasi itu. Tapi aku gak tahu. Hiks..
Ada banyak faktor yang mempengaruhi. Aku ajukan beberapa pendapatku, ya?
Pertama, Kurangnya sajian budaya daerah di aneka jenjang pendidikan. Bisa surfing dan lihat tentang Lagu Daerah atau Tarian Daerah pada Kurikulum 2013.Â
Aku masih ingat dulu waktu sekolah dasar. Mulai kelas 3 mesti menghafalkan lirik lagu daerah. Salah satu yang sangat kuingat adalah "Bungong Jeumpa".Â
Tak hanya menyanyikan dengan dialek Aceh, tapi harus kuasai notasinya dan bisa dibawakan dengan seruling atau pianika.
Saat kelas 6, untuk mengambil nilai ujian akhir pelajaran kesenian. Aku dan semua siswa, mesti bisa lakukan itu pada 12 lagu wajib nasional dan 5 lagu daerah. Susah, kan? Adakah sekarang begitu?
Baca juga: Lagu Daerah Ngehits di Kalangan Milenial, Lanjutkan ke Internasional.
Kedua, Dampak akulturasi budaya saat ini dengan logika yang berbau barat atau luar negeri dianggap trendy, perlahan menelan ragam budaya lokal, termasuk lagu daerah. Apalagi ruang sajian lagu-lagu daerah terkadang hanya dipaparkan pada acara seremonial dan simbolik!
Ketiga, ada fenomena berbingkai kreativitas. Yang versiku, secara tak langsung berpengaruh menggerus eksistensi lagu daerah.
Awal tahun 90-an dengan housemusic dan remix hingga sekarang koplo. Sehingga orisinalitas kesederhanaan lagu daerah menjadi sedemikian rumit. Walaupun itu tergantung selera, ya?