Meski berlatar belakang kerajaan Majapahit (acapkali dimaknai sebagai simbol Negara Indonesia), melalui Panji Koming, Dwi Koen sering mengangkat tema-tema aktual di Indonesia masa kini.Â
Jangan marah, jika dalam sebuah wawancara dengan Seno Gumira Ajidarma, Dwi Koen menyatakan awalnya, pembuatan komik itu dikerjakan sambilan.
Setidaknya, ada 6 tokoh yang berseliweran di komik ini. Panji Koming sebagai tokoh utama, digambarkan sebagai pemuda yang lugu juga peragu, Ni Woro Ciblon sang kekasih yang cantik, sabar, dan pendiam, Pailul sahabat setia yang konyol dan terbuka serta Ni Dyah Gembili kekasih Pailul, dengan karakter perempuan gemuk dan suka terus terang.
Dinamika 4 tokoh itu dengan tema yang diangkat, melibatkan Mbah sosok putih berjenggot panjang, sebagai ahli spiritual dan Denmas Arya Kendor, sosok birokrat gila hormat dan gila jabatan yang acapkali dijadikan "papan pantul" kritikan juga lelucon sang komikus.
Menurut Seno Gumira Ajidarma, Kartun seperti Panji Koming tak hanya menyajikan dagelan yang sekadar humor untuk memancing tawa. Tapi memiliki dimensi serius.Â
Bukan sekadar gambar dan teks, namun juga menyerempet bahaya yang bisa ditafsirkan sebagai pelecehan. Bagi siapapun, terhadap pelecehan bisa menjadi sensitif. Maka, kartunis adalah profesi riskan yang harus dihargai lebih dari sekadar tukang melucu.
Dari semula keberadaannya, Panji Koming adalah komik kritik. Dwi Koen secara cerdas melakukan itu kepada penguasa negara yang diwakili pemerintah juga kepada masyarakat yang mewakili bangsa. Sikap kritis yang menjadi kontribusi sosial sebagai pilar keempat demokrasi.
Keseriusan kritik sosial dan politik yang dimuat dalam Panji Koming, bahkan acapkali menjadi bahan penelitian ilmiah bidang ilmu humaniora.Â
Silahkan telusuri di Mbah Google, ya? Kenapa Panji Koming dan bukan yang lain?Â
Seno Gumira memberikan dua alasan logis. Pertama, komik Panji Koming tak hanya kritis tapi keras. Kedua, termuat di Harian Kompas yang beredar luas.