Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

NIK | "Those Three Words" [4]

22 Agustus 2019   08:15 Diperbarui: 22 Agustus 2019   08:19 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pulang dari jum'atan. Makan siang sudah tersaji. Kukira saat ke masjid. Kau dan Amak sibuk di dapur. Semua makan. Aku ke kamar berganti baju. Saat keluar kamar. Amak sodorkan piring.

"Makanlah!"

"Masih kenyang."

"Mamas jarang makan, Mak!"

Amak tersenyum mendengar kalimatmu. Tak jelas. Itu jawaban atau aduan. Semua mata menatapmu. Kau tertunduk malu. Semua diam, kembali lanjutkan santap siang. Tak lagi ada ajakan makan untukku.


Nyaris pukul setengah dua. Amak dan Abak bersiap. Kau dan aku menunggu di ruang tamu. Saat itu. Aku ingin tahu rasamu. Tapi tak ada waktu. Dari wajahmu, aku tahu kau menikmati harimu. Amak keluar kamar disusul Abak.


"Langsung pergi?"

"Iya! Kalau telat. Nanti gak dapat tempat duduk!"

"Naik apa?"

"Bis kampus!"

"Bis?"


Aku mendahului keluar rumah. Tak lagi bicara. Kau raih tangan Amak, melangkah pelan. Aku dan Abak di belakang. Berempat, berjalan keluar gang. Menuju Simpang Anduring. Menunggu bis kampus.

Beberapa bis berhenti dan kembali berlalu. Tak ada bangku kosong. Amak segera mengerti. Bersedia berdiri, agar aku tak terlambat. Kugelengkan kepala. Setidaknya, Amak dan Abak harus duduk. Tak mau kubayangkan Amak dan Abak berdiri. Di tengah sesak bis kampus.

Jarak puluhan meter. Klakson bis kampus, mengisi udara Simpang Anduring. Aku tertawa. Bis temanku. Kulihat tangan sopir dan kondektur sibuk diayunkan. Kuangkat empat jari. Kondektur membalas tiga jari. Artinya bersisa tiga bangku kosong. Kuajukan dua jempol. Bus berhenti persis di depanku.


Berempat, segera naik. Bis fullmusic. Kau duduk bersama Amak. Abak di bangku belakang dengan mahasiswa. Bus bergerak pelan. Aku segera ke depan. Duduk di atas speaker di samping sopir. Kumatikan musik. Sopir tertawa.

"Itu Amak dan Abak, Bang? Kapan sampai?"

"Pagi tadi! Ganti lagu, ya? Telinga Amak susah dengar musik gak jelas ini!"

"Terserah komandan!"

"Lah? Mana kaset..."

"Nike ardilla lagi? Rusak! Belum beli lagi..."

"Ya udah! Ini aja. Tapi dikecilkan!"


Aku putus asa. Melihat pilihan kaset yang tersedia. Kupukul pelan bahu sopir. Yang tertawa sambil bunyikan klakson. Aku berjalan ke belakang. Berdiri di sisi Amak. Semakin dekat kampus. Bis semakin padat dan sesak.

Bis sudah lewati Simpang Pasar Baru. Berjalan pelan lewati gerbang, lalui jalur mendaki. Merayap pelan. Amak memperhatikan. Tapi hanya diam. Hingga bus berhenti di halte depan Rektorat. Hampir semua penumpang turun. Kau berdiri di samping Amak. Abak di sebelahku. Berdiri dipinggir jalan. Menunggu bis berlalu.


Tapi bus belum bergerak. Hingga kudengar pintu sebelah sopir dibanting keras. Wajah sopir muncul. Berjalan cepat mendekat. Mengajak bertukar salam. Wajah Amak dan Abak yang terkejut. Kau tersenyum. Aku tertawa.

"Mak! Aku anak Amak juga, ya?"

"Hah?"

"Biar Abang jadi saudaraku!"

"Sudah! Nanti malam main ke rumah! Penumpang sudah menunggu!"

"Siap, komandan!"


Kuambil alih menjawab. Melihat Amak kebingungan. Sisakan tawa, sopir bis kembali ke belakang kemudi. Dua kali bunyikan klakson. Segera tancap gas. Kuangkat tangan pada kondektur. Abak tersenyum. Mata Amak tertuju padaku.

"Itu siapa?"

"Sopir bis, kan?"

"Tapi kenapa tadi..."

"Oh! Merangkap jadi murid!"

"Murid apa? Kau jadi guru?"

"Iya! Guru domino!"

Amak terdiam. Kupegang tangan Amak mengajak jalan. Abak tertawa. Kau berusaha menahan tawamu. Baru beberapa langkah. Amak kembali berhenti.


"Tadi belum bayar ongkos, kan?"

"Haha..."

"Balik lagi! Kita tunggu..."

"Pasti gak mau, Mak!"

"Kenapa?"

"Kualat kalau minta bayar sama guru!"

"Jangan main-main!"

"Kan, teman? Tanya Nunik! Tak pernah mau kalau..."

"Biar teman. Harus bayar!"

"Iya, kalau ketemu. Dibayar!"


Jalan menanjak menuju Gedung Auditorium. Berhadapan dengan gedung Rektorat. Berkali Amak dan Abak berhenti. Mengatur nafas. Edarkan mata sekeliling kampus. Amak tersenyum.

"Kampusmu di atas bukit, ya?"

"Iya!"

"Gedungnya tak di cat!"

"Iya."

"Apa tadi namanya? Uni..."

"Universitas Andalas, Mak!"

"Oh! Tadi Amak baca tulisan besar di gerbang! Ini tempat kuliahmu?"

"Iya..."

zaldychan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun