Masa hal receh dipermasalahkan? Aku coba narasikan yang biasanya aku sampaikan pada teman-temanku, efek pembiaran dari kekeliruan sederhana. Misal, seorang kakek menulis catatan harian yang dicetak stensilan dengan kalimat:
"Aku adalah pembantu seorang jenderal, yang bertugas di Medan pada tahun 60-an. Dua tahun kemudian pindah tugas ke Jakarta."
Sang Ayah. Guna memberi motivasi kepada anaknya akan pelajaran hidup serta perjuangan hingga menjadi pengusaha sukses. Menulis outobiografi yang dicetak sendiri dengan kalimat:
"Ayahku adalah seorang jenderal, yang bertugas di Medan pada tahun 60-an. Dua tahun kemudian pindah tugas ke Jakarta."
Nah! Sang Ayah, sengaja menghilangkan kata "pembantu". Hanya satu kata, tapi efeknya luar biasa, kan? Setidaknya, terbaca keren. Kalau menjadi anak jenderal! Toh, buku itu diterbitkan sendiri.
Seiring tahun, ternyata si anak terjun ke dunia politik. Menjadi figur publik. Kembali menerbitkan biografi dirinya sendiri. Berpijak dari outobiografi sang ayah. Kalimat di buku itu kira-kira;
"Kakekku adalah seorang jenderal, yang bertugas di Medan pada tahun 60-an. Dua tahun kemudian pindah tugas ke Jakarta."
Tuh? Coba semisal rahasia kecil pelenyapan kata "pembantu" itu, diketahui lawan-lawan politik dari si anak? Aih, gak usah dipikir, ya? Kan, hanya contoh? Haha...
Benarkah? Butuh waktu 60 tahun bagi Belanda untuk mengakui tanggal Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Tepatnya tanggal 16 agustus 2005, Saat Menlu Belanda Bernard Rudolf Bot menyatakan dalam pidato di gedung Departemen Luar Negeri yang saat itu dipimpin oleh Menlu Hassan Wirajuda.
Sehari kemudian, Menlu Bot untuk pertama kali mewakili Belanda, hadir pada Upacara Kenegaraan Peringatan Kemerdekaan Indonesia. Yang sudah mencapai angka 60! Lama, kan?