Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

NIK | "Just for You" [11]

12 Agustus 2019   08:15 Diperbarui: 12 Agustus 2019   08:34 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari itu rabu. Jelang dzuhur. Kau bersamaku di kampus. Agenda pembagian toga. Guna hindari antrian, sejak datang. Kau langsung kuajak duduk berdua di sudut biru kantin. Kopiku bersisa setengah. Kau memainkan sendok, di gelas jus jeruk pesananmu.

"Mas..."

"Hah?"

"Amak berangkat hari ini?"

"Besok! Sampainya jum'at pagi!"

"Abak?"

"Berdua."

Kau tersenyum. Menikmati isi gelasmu. Senin pagi kemarin. Kukabari via telpon, ada balasan surat dari Curup. Amak dan Abak akan hadiri wisudaku. Kecuali di awal, telponku hanya berbunyi satu arah. Tak lagi kudengar suaramu. Sampai kututup gagang telpon. Aku tahu, suasana hatimu pagi itu.

"Mas nunggu di terminal, kan?"

"Harus! Kan belum pernah ke rumah?"

"Nik ikut, boleh?"

"Gak dilarang!"

"Tapi jum'at pagi. Nik, Janjian sama dosen pembimbing."

"Tepati janji dulu."

"Biasanya, sampai Padang jam tujuh, kan?"

"Bentar! Mas sekarang pacar Nunik atau sopir bus?"

Tawamu lepas. Terburu kau tutup mulutmu. Dari gerak bahumu, kau berusaha menekan tawa. Matamu melirik seisi kantin. Aku tertawa melihat gerikmu.

"Maksud Nunik..."

"Kan, Bus bisa cepat atau lambat datangnya?"

"Jadi Nik..."

"Temui dosen, baru ke rumah!"

Kau tatap mataku. Yakinkan dirimu. Perlahan, kau anggukkan kepala. Aku tersenyum. Kureguk kopiku. menyalakan rokok. Kau melihat jam di tanganmu. Kau ajukan ke hadapku. Kuanggukkan kepala.

"Jam istirahat, Mas!"

"Iya!"

"Ambil toga?"

"Sesudah istirahat?"

"Iiih..."

Diam-diam, duet jarimu beraksi kecil. Sisakan merah di lenganku. Kau perhatikan raut wajahku. Terburu, kau usap bekas cubitmu. Aku tertawa.

"Mau makan?"

"Nik mau soto!"

"Oh! Mas tanya Da Zul kalau masih..."

"Tapi, di warung Bude!"

"Kan buka sore?"

"Biar!"

"Eh? Kenapa Nunik..."

"Nanti kalau Mas sudah..."

Kalimatku, juga ucapanmu terhenti. Tak lagi menatapku, dua tangan menopang dagu. Kau lempar pandangmu ke depan. Pantai Padang tertutup asap tebal Pabrik Semen Padang. Kau memilih diam. Aku terbiasa, dan berkali kualami tetibamu. Ketika rasamu harus lakukan itu. Tak berbatas ruang juga waktu.

Jam istirahat. Kantin mulai ramai oleh dosen, karyawan juga mahasiswa. Beberapa kali aku bertukar sapa dan salam. Tapi kau tak terusik. Menikmati alur fikir dan rasamu. 

Kukira seisi kantin seperti mengerti. Tak ada yang mengusik usil sudut biru. Kujentik gelas di hadapmu, dengan jariku. Kau menatapku. Tak kau balas senyumku.

"Beneran mau makan di Warung Bude?"

"Iya!"

"Nanti sore ke situ! Sekarang..."

Kau anggukkan kepala, ada senyum untukku. Kuacak kepalamu. Kau mengerti. Siang itu, hadir beningmu berhasil kuhindari.

#Nik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun