Sore itu sabtu. Tertanggal duapuluh tiga di september tahun dua ribu. Aku sendiri. Pipinx jumat sore ke Padang Panjang. Satu minggu ekstra sibuk. Persyaratan untuk wisuda selesai kemarin kecuali skripsi. Masih lalui proses jilid. Belum sempat kuambil. Seharian tidur.
Aku beranjak ke dapur, ingin menjerang air. Saat ketukan dan suara salam, terdengar dari pintu depan. Bergegas aku ke kamar. Tergesa raih dan kenakan baju. Menjawab salam dan membuka pintu. Sosokmu sudah hadir di balik pintu. Tak lagi menunggu, kau masuk dan duduk di kursi tamu. Aku duduk di sisimu. Tak ada senyummu.
"Mas, baru bangun?"
"Iya."
"Seharian?"
"Iya!"
"Nik nelpon pagi. Bilang ibu kost, Mas masih tidur!"
"Hah?"
"Sudah zuhur nelpon lagi. Belum bangun juga!"
"Mas..."
"Sakit?"
"Gak!"
Kau menatapku. Matamu penuh selidik. Kuajukan tangan kanan, ajak bertukar salam. Kau tersipu. Menahan senyum, menyambut tanganku. Kau sentuhkan ke dahimu. Kuusap kepalamu.
"Sebentar!"
Aku berdiri. Segera ke dapur. Hidupkan kompor dan menjerang sedikit air. Cukup untuk dua orang. Mencuci muka, kemudian ke kamar. Mengambil rokok dan segera temui dirimu di ruang tamu. Aku tertawa. Kau sibuk menata meja. Satu set kotak plastik berwarna biru muda. Sudah tersaji di meja. Aku tahu. Itu olahan tanganmu.
"Mas belum makan, kan?"
"Haha..."
"Nik masak kangkung!"
"Kenapa tadi Mas gak lihat?"
"Nik sembunyikan dalam tas!"
"Haha..."
"Langsung makan, ya? Harus habis!"
"Nanti aja! Mas lagi jerang air. Belum ngopi!"
"Biar Nik..."
"Gak boleh!"
Kau terdiam. Lagi kuusap pelan kepalamu. Aku ke dapur. Meracik segelas kopi, dan satu gelas teh hangat. Kau tertawa, melihat ekspresi wajahku. Jariku menahan panas bibir gelas. Terburu kau sediakan ruang di atas meja. Kuletakkan dua gelas di hadapmu.
"Mas gak punya nampan, Nik!"
"Haha..."
"Adanya piring kotor. Tapi lagi hobi malas!"
"Haha..."
"Masih panas! Kalau nanti minum, lihat cermin aja, ya?"
"Gulanya habis?"
"Iya!"
Gurat wajah cemasmu lenyap. Tawamu lepas. Tidak seperti baru datang tadi. Genap satu minggu. Tak bertemu. Sejak kuajak ke Padang Panjang. Pulang jam delapan malam, dalam keadaan hujan deras. Senin pagi, aku menelponmu. Memastikan keadaanmu. Sejak itu. Tak lagi ada komunikasi. Kukira kau mengerti sibukku.
Kureguk kopi. Nyalakan sebatang rokok. Baru sekali hisap. Kau terburu, ajukan satu kotak berisi nasi. Aku tertawa. Mengerti inginmu. kumatikan rokok, meraih kotak berisi nasi. Kau salin tumis kangkung di atas nasi. Sendok kau serahkan padaku. Kau tersenyum, anggukkan kepala.
"Nunik?"
"Pedas! Pakai rawit!"
"Kalau habis, gak nyesal?"
"Haha..."
"Coba senyum!"
"Lah? Kenapa?"
"Obat pedas!"
"Gombal!"
"Iya!"
Aku tak mau tahu yang terfikir olehmu sore itu. Berkali kau ajukan rasamu dengan caramu. Aku kalah dan bertahan karena itu. Tak lagi bersuara. Kunikmati masakanmu. Kau diam menatapku. Hingga sendok terakhir. Kau tertawa, sambil ajukan botol minuman di tanganmu.
"Pedas, Mas?"
"Lumayan!"
"Mas gak suka. Kalau pakai tomat, kan?"
"Kangkungnya enak! Nunik masaknya dengan cinta, kah?"
"Iiih..."
#Nik
#GetMarried #PowerofLove #BecauseofYou #SayLovewithLetter #LoveJustaintEnough #BorntoFight #ThereisaWay #SpeakYourMind #UnforgettableMoment # AmanofTheWorld
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H