Sambil mengingatkan untuk waspada, bahwa 4 Kekerasan yang paling dominan terhadap anak itu, menurut beberapa penelitian, potensi terbesar pelakunya adalah orang-orang terdekat atau lingkar dalam keluarga. Baik dilakukan dengan sengaja dan sadar, atau malah tak sengaja.
Ketika ranah tanya-jawab dibuka tanpa moderator sebagai polantas. Malah materi nomor 4, menjadi primadona diskusi. Sebab, baru "ngeh" bahwa pengabaian terhadap anak termasuk kekerasan, dan pengabaian bukan hanya tak terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan papan.Â
Gegara aku memulai dengan 2 pertanyaan, dan 1 pernyataan;
- Kapan terakhir duduk bersama anak saat mengerjakan PR?
- Kapan terakhir menyediakan waktu dan ngobrol berdua dengan anak tanpa ada amarah dan tekanan?
- Marah hanya menghentikan sementara, Namun tidak pernah menyelesaikan masalah.
Asyiknya, alur diskusi sama ibu-ibu itu adalah, bahwa diskusi berubah menjadi ajang curhat! Pola brainstorming tanpa sadar dilakukan mereka. Akhirnya, aku lebih memilih menjadi papan pantul. Agar ajang curhat tetap mengarah pada focus group discussion. Hehe..
Semula, dijadwalkan hanya 1 jam, malah molor nyaris 2 jam! Dan berakhir, saat para peserta kuajak  mind mapping versi mereka, bagaimana dampak kekerasan itu terhadap anak. Dan, diakhiri dengan pertanyaan apakah adil, jika dianggap anak yang bermasalah? Jika sesungguhnya ternyata bukan anak pangkal masalah?
Logikanya, pemakaian istilah "permasalahan anak atau anak bermasalah" itu tidak tepat. Idealnya ditukar menjadi "permasalahan yang dihadapi anak".
Berpijak dari hasil diskusi dan kiramologiku, Â Baik yang telah mengalami 4 kekerasan itu, salah satu dari itu atau tidak sama sekali. setidaknya ada 4 faktor yang akhirnya menjadi penyebab hadirnya permasalahan bagi anak.
Pertama, permasalahan yang timbul dari dalam keluarga. Misal, orang tua bekerja, fungsinya diambil alih guru, teman sebaya atau malah pengasuh dan tetangga. Atau belum lagi jika broken home atau pola asuh keliru!
Kedua, permasalahan akibat dampak negatif lingkungan sosial dan perkembangan teknologi. Minimnya efek poin 1, akhirnya anak mencari dan menjadi imitasi lingkungan sekitar, atau malah terbentuk karakternya di dominasi lingkungan sosial dibanding keluarga. Faktor widget, gadget dan sejenis juga ikut andil, tah?
Ketiga, Permasalahan pendidikan. Pastinya, orangtua inginkan yang terbaik untuk anak. Terkadang lupa, keinginan anak. Muaranya, anak kemudian mirip robot yang menjalankan keinginan orang tua. Termasuk memamah pelajaran yang sukar dan riweh untuk dipahami. Belum lagi kalau ada tugas atau PR. Dunia anak jadi dunia belajar!