Usai hujan. Kabut malam, tampak dalam temaram bias cahaya lampu beranda. Kuhabiskan, potongan terakhir agar-agar di piring. Kau tertawa. Tak lagi ada mendung di matamu. Kureguk air putih di gelas.
"Besok Mas ke Padang Panjang!"
"Hah! Ada apa, Mas?"
"Kasih tahu ke Ayah dan ibu. Kalau selesai sidang!"
"Oh! Amak dan keluarga di Curup, udah tahu?"
"Pagi tadi, Mas kirim surat!"
"Haha..."
"Malah tertawa!"
"Nik kira, Mas lupa!"
"Di ingatkan Pipinx!"
"Dasar!"
"Jejangan, Nik juga kirim surat?"
"Iya. Kemaren!"
Kau tersenyum. Aku tertawa. Sambil garuk kepala, kuraih rokokku. Nyalakan lagi sebatang. Sudah lama, aku tak berkirim surat. Kau tahu itu. Tapi kabar tentangku, akan sampai pada Amak di Curup. Melalui tulisan tangan di suratmu.
Berkali kau ingatkan aku, untuk memberi kabar. Hingga tak lagi kau tanya. Berkali juga, kau wakili aku untuk itu.
"Makasih, ya?"
"Kenapa?"
"Udah kirim surat ke Amak!"
"Karena Mas jarang kirim surat ke Curup!"
"Tulisan Mas jelek!"
"Alasan!"
"Iya."
"Haha..."
"Orangnya juga, kan?"
"Tumben, jujur?"
"Kan, hadiahnya dapat Nunik?"
"Iiih..."
Kali ini. Cubitan dua tanganmu di bahu dan lenganku. Tak ada yang bisa kulakukan. Kunikmati saja. Aku tahu. Kau takkan tanya sebab. Seiring waktu. Acapkali, kau akan tahu. Kenapa aku lakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Kau lirik jam di tanganmu. Tersenyum padaku. Aku mengerti. Sudah waktuku untuk segera pulang.
"Nik banyak jahitan?"
"Cuma satu. Tadi sore diambil!"
"Pantas!"
"Apa?"
"Nik buatkan Mas agar-agar!"
"Rencananya mau Nik buat. Di hari saat Mas sidang!"
"Wah! Kenapa gak jadi?"
"Nunik..."
"Gak usah jawab! Ikut ke Padang Panjang, mau?"
"Mas boleh?"
"Mau atau tidak?"
"Nik..."
"Besok Mas jemput jam sembilan!"
Aku menatapmu. Perlahan, kau anggukkan kepala. Wajahmu cerah. Kau tersenyum. Tak banyak ruang juga luang bagiku. Mengajakmu, keluar dari Kota Padang. Tetiba, keningmu berkerut.
"Berangkat jam sembilan?"
"Biar sorenya bisa balik lagi!"
"Tapi, kalau pagi. Nik..."
Aku tertawa. Kuacak kepalamu. Aku membaca gelagat panikmu. Situasi yang sama. Saat kuajak ke kampung Amak. Kau diam. Kukira naluri perempuanmu. Sudah pikirkan ini-itu.
"Kalau Nunik buat..."
"Gak usah!"
"Buatnya cuma sebentar!"
"Besok bawa jaket! Musim hujan!"
Kau sandarkan tubuhmu. Tak puas dengan ucapanku. Tapi kau sudah terbiasa. Itu tak sekedar kalimat. Tapi keputusan.
Kau lirik lagi jam di tanganmu. Segera berdiri, berjalan dan lenyap di balik pintu. Agak lama. Kau keluar dari pintu rumah. Tersenyum padaku. Kantong plastik hitam, kau letakkan di meja. Aku sudah tahu. Isinya, agar-agar buatanmu.
"Untuk Mas?"
"Kalau gak mau. Terserah Mas!"
"Bawa ini aja ke Padang Panjang!"
"Hah?"
"Eh, Jangan, ya? Bakal salah niat, kan?"
"Haha..."
"Mas pulang!"
"Iya!"
"Titip pesan, boleh?"
"Untuk?"
"Nunik!"
"Apa?"
"Kalau ngantuk, Tidur!"
"Haha..."
"Kalau masih mau nangis. Tunda besok aja!"
"Iya!"
"Kalau..."
"Mamaaas!"
"Haha...
#Nik
#GetMarried #PowerofLove #BecauseofYou #SayLovewithLetter #LoveJustaintEnough #BorntoFight #ThereisaWay #SpeakYourMind #UnforgettableMoment # AmanofTheWorld
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H