Tanpa diketahui oleh buku pertama, buku kedua malah merasa cemas. Khawatir, siswa tersebut akan memperlakukannya seperti siswa sebelumnya. Setiap hari lembar halamannya dibolak-balik, hanya untuk disalin kembali di buku tulis.
Mungkin saja, karena siswa tersebut lelah atau bosan. Sehingga ia diperlakukan secara kasar. Akhirnya, tampilan buku kedua tak lagi pernah istimewa seperti buku pertama.
Buku kedua pun merasa dilecehkan! Juga menyadari, jika diri serasa tak berguna. Untuk apa kehadirannya? Jika semua mesti kembali ditulis ulang oleh siswa? Kenapa harus ia yang teraniaya oleh kebosanan dan kelelahan siswa?
Jejangan, sesungguhnya ini adalah upaya pelan-pelan, menyingkirkannya dari peredaran? Menggantinya dengan segala macam perubahan baru yang terus berubah-ubah, akibat tergerus kemajuan zaman?
Dua buku pelajaran itu, enggan saling bercerita. Keduanya menyimpan rasa malu yang sama, merasa tak berguna. Menyimpan kesedihan yang sama, jika mereka tak lagi dianggap, sebagaimana mestinya sebuah buku.
Keduanya, berharap hadirnya seorang. Yang akan mengembalikan manfaat keduanya, sebagai pedoman dan penunjang belajar dan pembelajaran. Bukan berposisi pengganti. Keduanya, merindukan adanya seorang guru.
Curup, 31.07.2019
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H