Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

NIK | "Just for You" [3]

31 Juli 2019   08:15 Diperbarui: 5 Agustus 2019   14:26 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

Aku tak peduli. Kau atau orang lain. Cara memaknai rasa dan asa. Bagiku, miliki keduanya. Itu bermakna cinta. Jika hanya miliki salah satu di antara keduanya. Bukanlah cinta. Entah apatah namanya. Dan bila cinta, maka harus kumiliki. Memulai dengan cinta. Biarkan cinta mengakhiri.


Kukira. Kau bisa melihat dari sikap ataupun caraku. Belum mampu kuujar lugas inginku padamu. Saat itu, dan malam itu. Tak cukup peluruku, untuk penuhi inginmu pada janji. Bagiku, lelaki itu harus penembak jitu. Dan adalah aib bagi penembak jitu, jika salah sasaran.

Angin malam membuka poriku. Kau diam. Melihatku menikmati kepulan asap rokok. Kau tersenyum. Keningku berkerut.

"Kenapa?"

"Gak!"

"Eh?"

"Nik suka lihat Mas. Kalau sedang merokok!"

"Haha..."

"Ayah juga merokok! Tapi gak ada busanya."

"Itu rokok kretek! Pakai busa rokok filter!"

"Oh!"


Jarang kutemui. Topik pembicaraan tentang keluargamu. Apatah lagi figur ayahmu. Aku jadi tahu. Malam itu, fikiranmu masih tentang kau, aku dan keluargamu.


Kubuka telapak tangan kiriku. Kau terkejut. Akhirnya mengerti. Kau letakkan tangan kananmu di telapak tanganku. Kugenggam erat tanganmu. Tak ada reaksimu.

"Maafkan! Mas gak mau janji!"

"Nik mengerti."

"Bereskan satu-satu dulu, mau?"

"Iya!"

"Takkan cukup hidup bermodal cinta!"

"Tapi..."

"Mas dan Nunik sudah punya itu!"

Suaraku pelan dan jelas. Kutatap manik matamu. Kau diam. Sekilas membalas tatapanku. Kemudian menunduk.

"Nik jaga itu!"

"Mas..."

"Jangan nangis lagi!"

"Gak!"

"Lihat, Mas!"


Perlahan. Kau angkat wajahmu. Kau usap sudut matamu dengan tangan kirimu. Mencoba tersenyum. Kau menatapku. Kuacak kepalamu.

"Tadi Mas mau bilang..."

"Apa?"

"Gak jadi!"

"Mas!"

"Lain kali!"

"Nik tahu! Mas mau bilang. Kalau Mas..."

"Iya!"

"Sampai kapan? Nik belum pernah..."

"Di surat?"

"Beda!"

"Iya! Beda..."

"Iiih..."

Tetiba kurasakan perih. Genggamanku terlepas. Jari tanganmu singgah di lengan kiriku. Kureguk sisa kopiku. Kau segera lihat jam di tangan kirimu. Kau ajukan ke wajahku. Aku tertawa. Masih setengah jam lagi. Ke angka sembilan. Itu caramu. Melarang pulang.

"Mas belum mau pulang!"

"Kenapa habiskan kopi?"

"Kenapa gelasnya kecil?"

"Eh? Nik buat lagi, ya?"


Kau segera berdiri. Tanganmu cepat kupegang. Kau menatapku. Aku gelengkan kepala. Pelan kau tarik dan lepaskan tanganmu. Tetap berjalan menuju pintu. Tak lama. Kau kembali. Tanganmu membawa satu gelas air putih. Kau tersenyum. Aku tertawa.


"Ini aja! Air hangat!"

"Haha..."

'Mas. Nanti pulang bawa agar-agar, ya?"

"Sogokan?"

"Gak!"

"Pelet? Biar Mas..."

"Gak dipelet juga mau!"

"Haha..."

"Iya, kan?"

"Iya!"

"Iya apa?"

"Mas di pellet!"

Plak! Pluk! Plak!

#Nik

#GetMarried #PowerofLove #BecauseofYou #SayLovewithLetter #LoveJustaintEnough #BorntoFight #ThereisaWay #SpeakYourMind #UnforgettableMoment # AmanofTheWorld

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun