Akibat wajib itu, akan muncul berbagai tekanan dan tuntutan. Pemerintah menitip tujuan dengan berbagai target, acuan dan kurikulum berserta perangkat yang jlimet, orang tua menitip harapan kepada sekolah, berdalil dengan berani membayar mahal.
Dengan dua hal itu, pihak sekolah menuntut kepada guru untuk membuktikan. Para guru menuntut pada anak untuk melakukan. Dan anak, kebagian menuntut siapa? Pelan-pelan, esensi awal sekolah untuk bersenang-senang hilang!
Anak dihadapkan dengan puluhan buku yang mesti dibaca, dipahami dan disandang di bahu setiap hari. Guru mesti menyiapkan bahan ajar berdasarkan kurikulum yang acapkali berganti. Pihak sekolah bergelut kusut di antara fasilitas dan kualitas. Orang tua menghabiskan waktu mengejar materi, agar anak belajar di tempat terbaik. Dan? Aih. Sudahlah...
Dengan harapan indah dari pemerintah yang mewakili negara, harapan orang tua sebagai pemilik keluarga, kemudian menjadi tugas pihak sekolah mewujudkannya. Akhirnya, semua terburu-buru ingin terlihat baik dan menjadi terbaik. Akhirnya anak diburu melakukan yang terbaik.
Memburu atau pemburu, pasti menyenangkan! Namun jika anak sebagai objek buruan? Hiks..
Karena Harapan, Akhirnya Anak jadi Korban?
Balik lagi ke anak, ya? Akhirnya anak pergi dan pulang sekolah hanya bersisa senyuman! Itupun, jika tak ada PR yang diberikan. Lah, kalau ternyata guru juga menitipkan PR? Maka, anak memindahkan kelasnya ke rumah! Bedanya, guru digantikan orang tua.
Aku pribadi beberapa tahun, pernah jadi pendidik. Dan, tak suka menitipkan PR untuk anak. Bagiku, jika ada PR artinya, aku gagal memanajemen waktuku di kelas! Kalau pun ada tugas yang harus dikerjakan di rumah, itu paling-paling untuk menambah nilai saat UTS atau UAS. Bukan tiap tatap muka ada PR.
Terus, bagaimana dengan kurikulum, silabus dan kemampuan anak? Bagiku, apakah layak bagi anak yang sekolah 6 tahun di SD, 3 tahun SMP dan 3 tahun SMA, diukur kemampuannya berdasarkan hasil jawaban 100 soal dari Ujian sekian mata pelajaran? Hiks lagi...
Apatah kemudian anak yang dapat nilai rendah dianggap bodoh atau gagal? Kukira, tidak adil buat anak, kan?