"Tak ada benih yang buruk, mungkin saja belum menemukan lahan yang cocok." (Anonim)
Aku kembali lupa, dimana menemukan quote di atas. Namun aku suka dengan nada optimis yang terkandung di dalamnya. Tak ada "kesalahan atau kekeliruan" baik pada benih atau pun pada lahan. Namun terselip ajakan untuk terus mencari "kecocokan" antara benih dan lahan.
Jika benih itu adalah seorang anak. Maka proses pencarian lahan itu, awalnya dilakukan di dalam keluarga. Sehingga idealnya, keluarga berfungsi untuk pengenalan diri, cinta dan kasih sayang, sosialisasi dan interaksi, budaya dan agama serta tempat perlindungan.
Yang diharapkan menjadi pemantik hadirnya anak yang memiliki karakter yang dinginkan setiap orang tua.
Di era modern, fungsi keluarga mulai tergerus. Perlahan dan pasti, peran orang tua beralih pada lembaga pendidikan sejak anak usia dini (play group). Dan diharapkan mampu "menggantikan" posisi orang tua untuk membentuk karakter anak.
Sebagai Benih, Jejangan Anak kehilangan Lahan!
Sekolah kemudian menjadi urutan kedua sesudah keluarga. Sebagai wadah "penanaman karakter" yang dianggap lebih pas. Dengan harapan orang tua, bahwa anak dididik pada lembaga pendidikan oleh orang-orang terdidik. Bisakah? Coba sama-sama kita runutkan!
Menilik dari segi kata, bersumber dari bahasa Yunani "schola" sebagai asal kata sekolah, yang bermakna "waktu luang" (Silahkeun cari di Mbah Google). Tentu saja tujuan awalnya, untuk bersenang-senang dengan kegiatan yang bermanfaat.
Namun seiring perkembangan zaman, perlahan menjadi wajib. Bersebab untuk mewujudkan harapan orang tua, nusa, bangsa, agama. Hiks.