Plong!
Kurasakan di sudut benakku. Tak bisa kumaknai lebih. Sejak tadi. Dalam diam, kunikmati kepulan asap rokok. Kulepas pandang ke titik terjauh dari sudut biru. Kau pun diam, tak mengusik. Aku tahu, kau biarkan momen itu untukku.
"Makasih, Nik..."
Kucoba tata kata. Tak kutemukan hadir kata lain dari mulutku. Hanya kalimat itu. Nyaris berbisik kuujarkan. Mataku tak berpaling. Tak juga menatapmu. Pun tak ada reaksimu. Kau dan aku, menikmati dimensi sunyi sudut biru.
Hingga kudengar teriakan. Beberapa pengunjung kantin memanggilku. Berdiri sambil senyum, kuhampiri dan salami semua. Teman satu angkatan. Ada yang satu fakultas juga beda fakultas. Dan segera membubarkan diri. Senyummu balasan untuk pamit mereka.
Aku berjalan ke arahmu. Berusaha membuka dasiku. Kau tertawa, hingga aku duduk di hadapmu.
"Tolong Mas, Nik!"
"Haha..."
"Malah ketawa!"
"Gak usah dilepas!"
"Panas!"
"Sesekali! Biar..."
"Apa?"
"Gak jadi!"
"Kelihatan ganteng?"
"Iya!"
"Ganteng Mas bukan di dasi!"
Masih tertawa. Perlahan kau buka dasi di kerah bajuku. Kau lipat rapi. Kubuka dua kancing atas baju putihku. Terasa lega. Tersenyum, kuacak kepalamu.
"Yess! Kembali seperti semula!"
"Hah?"
"Iya!"
"Kenapa?"
"Mas jadi aneh! Gegara Jas dan dasi."
"Sekarang?"
"Jadi Mamas Nunik lagi!"
Plak!
Tangan kananmu singgah di bahuku. Aku tertawa. Kau tidak. Kutatap matamu. Kau sembunyikan wajahmu. Kau tutupi dengan dua telapak tanganmu. Kukira kau malu. Perlahan tubuhmu merunduk. Wajahmu sudah menyentuh meja. Tak kau lepas telapak tanganmu. Gerak bahumu memberitahu. Tak usah lagi bicara.
Aku segera berdiri. Kau kutinggal. Kerongkonganku butuh segelas kopi lagi. Aku tahu, Da Zul sediakan itu.
Sayup adzan dzhuhur, terdengar dari masjid kampus. Saat aku kembali duduk di sisimu. Kutaruh segelas es jeruk di hadapmu. Dan gelas berkopi untukku. Wajahmu berpaling padaku. Masih bersisa bening di sudut matamu.
"Nangis, gak bilang!"
Cubitmu hadir di pinggangku. Kau menahan senyummu. Aku tertawa. Kuraih gelas berkopi, kureguk isinya. Kunyalakan lagi sebatang rokok. Sedikit malu, kau reguk isi gelasmu. Kau menatapku.
"Makasih, Mas!"
"Untuk?"
"Minumnya."
"Bilangnya ke Da Zul!"
"Haha..."
"Kan Da Zul yang buat? Hayuk, kesana!"
"Gak mau!"
"Terus?"
"Ke Mas aja!"
"Udah tahu! Kan, Nunik..."
"Mamaaas..."
Plak! Pluk! Plak!
Tak kuhindari. Itu hempasan rasamu. Kukira kau tak lagi peduli. Penghuni kantin mendengar teriakanmu. Ketika sudut biru sajikan drama. Tapi aku salah. Kau segera tutup mulutmu dengan tanganmu. Perbaiki posisi dudukmu. Wajahmu bersemu merah. Aku tertawa.
"Lupa?"
"Iya!"
"Mau pukul lagi?"
"Gak!"
"Malu?"
"Iya!"
Aku berdiri. Kau terkejut. Aku berbalik badan. Menghadap ke pengunjung kantin. Kupasang wajah serius. Beberapa mata ingin tahu, menatapku.
"Perhatian! Teman-teman, mohon maaf. Jangan lihat lagi sudut biru. Nunikku sedang malu. Jadi..."
"Mas!"
Kau tarik tanganku. Kau ajak duduk. Aku tertawa. Seisi kantin tertawa. Beberapa orang memukul gelas dengan sendok. Aku menatapmu.
"Bilangnya malu?"
"Tapi..."
"Lah? Tangan Mas, kenapa belum dilepas?"
"Mamaaaas! Iiih..."
"Haha..."
#Nik
#GetMarried #PowerofLove #BecauseofYou #SayLovewithLetter #LoveJustaintEnough #BorntoFight #ThereisaWay #SpeakYourMind #UnforgettableMoment
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI