"Kan nunggu dipanggil?"
"Sepuluh menit! Cukup sebatang rokok!"
Berempat, melangkah menuju kantin. Da Zul pemilik kantin menatapku dan anggukkan kepala. Saat isyaratku dimengerti. Aku butuh rokok dan seteguk kopi.
Kantin semakin ramai. Riuh dan bisik tak jelas hadir saat kumasuki. Kulepas jas, kuberikan padamu. Kukira hari itu, sudut biru khusus untukku. Pipinx dan Ajo duduk di hadapku. Kau duduk di sisiku. Kunyalakan rokok. Asapnya penuhi paruku. Sudut biru senyap.
Kau duduk diam. Tak bersuara. Dan Bereaksi, saat Da Zul antarkan kopi. Kau aduk pelan, kau cicipi. Perlahan kau geser ke hadapku. Kopiah kulepas, kuletakkan di kepalamu. Kau senyum terpaksa. Memegang kopiahku. Kuraih gelas berkopi, kureguk sedikit. Kuajukan pada Pipinx dan Ajo, kudapati dua geleng kepala. Pipinx menatapku.
"Mpuanx pasti lulus!"
"Amiin!"
"Tapi kenapa..."
"Sepakat dengan Pak Il! Tadi bukan ujian!"
Itu kalimat Ajo. Sosok garda terdepan era reformasi, juga orator kampusku. Kupandangi Ajo. Pipinx pun menatap Ajo yang menyalakan rokok. Tampaknya tak berminat menjelaskan. Aku tertawa. Dan terhenti, saat gerombolan sekelasku datang. Penuhi sudut biru. Irfan koordinator kelas, menepuk bahuku.
"Sidang ditunda?"