"Nanti aja!"
"Jangan telat! Harus hadir!"
"Siap!"
Bahuku ditepuk pelan. Bagiku, Pipinx tak lagi sebagai teman. Tapi lebih dari itu. Aku bertukar salam dengan Ajo. Keduanya pamit denganmu dan segera pergi. Kau menatapku. Tanganmu memegang pulpen dan kertas pesanan.
"Mas ngopi?"
"Iya."
"Makannya?"
"Gak! Nunik aja!"
"Mas harus makan!"
Suaramu keras dan jelas, pagi itu. Aku tersenyum. Kukira, kau baru sadari itu. Wajahmu memerah. Da Zul pemilik kantin tertawa. Memandangku.
"Ada juga yang berani marah, Ketua?"
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!