Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Event Cerita Mini] Layang-layang Pertamaku

7 Juli 2019   16:11 Diperbarui: 7 Juli 2019   23:46 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kuambil buluh sebatang

Kupotong sama panjang

Kuraut dan kutimbang dengan benang

Kujadikan layang-layang

Ketika aku kecil, lirik itu acapkali kudengar. Pada Sabtu sore, menonton acara lagu untuk anak di televisi. Bagaimana bisa lupa? Yang membawakan acara itu Pak Kasur dan Bu Kasur. Nama yang unik, jika kini aku mengingat nama itu, aku pasti tersenyum.

Bagi bocah kecil laki-laki, lirik lagu itu sangat penting. Lagu yang menjadi panduan bagaimana membuat layang-layang. Permainan lelaki! Harus buat sendiri, jika mau diakui sebagai laki-laki! Memalukan jika laki-laki tak pandai membuat layang-layang.  

Seperti musim durian, musim rambutan atau musim duku. Bermain layang-layang pun ada musimnya. Biasa disebut musim layangan.

Aku ingat dulu. ketika belum bisa membuat layangan, maka sesudah sholat ashar, aku bersama teman-teman menuju lapangan bola Setianegara. Menyaksikan orang-orang dewasa, bermain layangan yang bisa berbunyi. Aku menyebutnya layangan wir-wir. Layang- layang itu, berbentuk kupu-kupu raksasa. Jika sudah terbang di udara akan mengeluarkan bunyi wir-wir-wir-wir!

Ada juga layang-layang yang berbentuk mirip kalajengking, yang dihiasi ekor yang panjangnya bisa puluhan meter. Jika di udara, aku tak lagi melihat kalajengking, tapi aku membayangkan sosok naga terbang dengan ekor panjang. Yang gambarnya sering kulihat di dompet kecil ibuku. Dompet hadiah dari toko yang menjual emas.

Satu lagi, jenis layang-layang yang lebih kecil. Dinamakan layangan maco. Karena bentuknya mirip ikan maco. Biasanya dimainkan oleh anak usia SD atau SMP. Kau tahu? Aku akan segera berlari mendekat, jika layang-layang itu baru akan diterbangkan atau setelah diturunkan. Seru dan menyenangkan!

Saat itu, sungguh kenangan indah jika menyaksikan aneka jenis layangan itu di udara, sambil duduk atau berguling di rerumputan lapangan bola Setianegara

Aku ceritakan padamu. Bagaimana kisahku pertama kali membuat layang-layang.

Suatu hari. Bersama dua kawanku, Eri dan Iwan. Sepulang dari sekolah dan setelah bertukar baju di rumah masing-masing, kami kembali berkumpul di rumahku. Tujuannya hanya satu. Membuat layang-layang. Dan, masing-masing berbagi tugas. Eri membawa kertas minyak yang biasa digunakan untuk layang-layang dan lem sagu. Iwan membawa gunting dan benang jahit. Aku menyiapkan bambu dan pisau.

Siang itu, Ibuku harus merelakan bambu galah yang biasa digunakan untuk menjemur pakaian, kupotong untuk dijadikan tulang layangan. Karena aku sudah terlanjur berjanji, dan Eri serta Iwan sudah sampai di rumah.

Berbekal lirik lagu yang tanpa sadar dinyanyikan, serta pengamatan melihat jenis layangan di lapangan setia negara. Maka kami bertiga mulai berbagi bilah bambu galah, dan segera sibuk merautnya. Namun tak pernah selesai, karena mudah patah. Nyaris putus asa, Ibuku mendekati kami bertiga.

"Bukan pakai bambu itu, Nak!"

"Hah?"

"Bambunya, yang biasa digunakan untuk pagar!"

Ibuku kembali ke dalam rumah. Bertiga, kami bertukar pandang. Mataku segera ke pagar rumah, Eri gelengkan kepala. Tak bersuara, Iwan berdiri dan segera pergi. Tak Lama, kembali membawa bilah bambu yang masih berpaku. Aku menatap Iwan.

"Pagar siapa?"

"di rumah!"

"Eh, nanti..."

"Memang sudah copot!"

Tak bicara, Iwan segera membelah bambu menjadi tiga bagian. Dalam diam, kembali bertiga sibuk meraut. Seakan berlomba, maka telah tersedia tiga kerangka layangan karya anak kelas dua SD. Wajah puas tersaji, membuat layang-layang sendiri, agar segera diakui sebagai laki-laki. Bertiga sepakat, istirahat. Saat hujan turun disertai angin kencang mewarnai siang jelang sore itu.

 Ternyata, Istirahat adalah pilihan keliru! Canda dan tawa akibat bergelut, seketika terhenti. Saat kertas minyak untuk membuat layangan, diterbangkan angin ke halaman dan basah oleh hujan. Tak ada ucapan yang dikeluarkan, pun tak ada telunjuk yang diacungkan. Eri dan Iwan terdiam. Aku segera mencari ibu.

"Minta duit, Bu? Mau beli kertas minyak!"

"Kan tadi, ada?"

"Kena air hujan!"

"Koran!"

"Hah? Emang bisa?"

"Coba dulu!"

Kuturuti usulan ibu dengan sedikit kesal. Kedua kawanku tertawa, saat aku keluar dari dalam rumah. Dengan lipatan koran bekas. Eri menatapku.

"Barusan juga mau ambil koran di rumah!"

Begitulah! Aku, Eri juga Iwan. Membuat layang-layang pertama kami. Agar diakui sebagai laki-laki. Berbahan koran bekas. Tiga layangan koran, dengan tiga ekor yang panjang dibuat di saat hujan. Dan selesai saat azan maghrib. Sebagai tanda bagi dua temanku, waktunya segera pulang.

Aku lupa! Apakah layangan pertama itu, sempat kumainkan atau tidak? Sekarang, dengan uang seribu anak-anak tinggal membeli dan sudah bisa bermain layangan. Pun, tak lagi kutemui pagar bambu di sekitar tempatku tinggal, termasuk rumahku. Lapangan bola Setianegara pun tak lagi ada. Berganti bangunan-bagunan kecil tempat berjualan aneka makanan. Sebagai pusat wisata kuliner Kota Curup.

Curup. 07.07.2019

zaldychan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun