"No one is perfect. Bukankah pelangi indah karena perbedaan warna jadi kenapa harus ada pendiskriminasian pada sebuah perbedaan." Anonim
Ungkapan diatas menjadi pijakanku saat menulis artikel samber hari ke 25, dengan tema keberagaman semarakkan ramadan tahun ini. kuceritakan saja "perbedaan" di lingkunganku sejak kecil hingga saat ini, ya?
Aku lahir dan besar di pusat Kota Curup, Ibukota kabupaten Rejang Lebong, Propinsi Bengkulu. Pernah kutulis, jika masyarakat Kota Curup adalah heterogen. Jika keliru kuujarkan sebagai Indonesia mini.
Untuk membuktikannya, cukup datang ke Pasar Tradisional. Akan ditemui pedagang dan pembeli dari berbagai daerah. Semisal Jawa, Batak, Minang, Sunda, Palembang bahkan Tionghoa dan tentunya suku Rejang sebagai penduduk asli. Dan, jangan jangan heran, jika ada pembeli menggunakan bahasa jawa dengan logat batak, atau pedagang Minang melayani pembeli dengan berbahasa Rejang.
Di Kota Curup, akan ditemukan nama desa atau kelurahan, akan ditemui misal desa Mojorejo, Sidodadi, Kelurahan Karang Anyar, Kampung Bali, Desa Banyumas. Begitu juga rumah Ibadah. Malah berjarak limaratus meter dari rumahku, terdapat 2 masjid, 1 musholla, 2 gereja dan 2 Vihara. Beraneka rumah ibadah itu, Cukup sebagai pertanda keberagaman keyakinan dan agama di tempat tinggalku, kan?
Belum cukup? Orangtuaku merantau ke Curup tahun 1974. Dan sejak kecil aku bertetangga dengan aneka etnis. Sebelah kiri-kanan rumah orangtua, diapit oleh tetangga etnis Tionghoa Bangka serta Palembang. Di depan rumah ada Bidan bermarga Saragih yang membantu kelahiranku dan semua saudara-saudaraku. Orangtuaku mengajari sekaligus memberi contoh. bagaimana cara hidup bertetangga, walau berbeda latar belakang suku dan agama.
"Hidup bukan tentang mempermasalahkan sebuah perbedaan, melainkan saling melengkapi kekurangan." Anonim
Jadi sejak kecil hingga saat ini, aku terbiasa bergaul dengan lingkungan yang berbeda latar belakang suku, ras dan agama. Hingga saat ini, aku rada aneh jika perbedaan itu kemudian meruncing menjadi masalah. Iparku pun, beraneka etnis dan suku. Ada jawa, sunda, Padang, Rejang dan Tionghoa Bangka.
Karena tinggal di pusat pertokoan. Maka toleransi bertetangga akan mengalir otomatis. Semisal saat ada pernikahan, apalagi jika mengalami musibah. Pastinya, tetangga kiri kanan akan menutup toko, kan?
Begitu juga saat merayakan hari besar keagamaan. Akan ada saling kunjung bahkan berbagi makanan. Anak-anakku pun mengalami hal yang sama seperti masa kecilku. Mereka juga akan mendapat "angpau" jika tetanggaku merayakan imlek. Dan, Anak-anak tetangga juga bakal dapat "salam tempel" jika lebaran dan berkunjung ke rumah.
Dengan lingkungan yang demikian. Tak ada permasalahan dalam menyikapi perbedaan, kan? Apalagi menjurus ke ranah konflik. Dua kata kunci didikan orangtua sejak kecil adalah "Menghormati dan Menghargai" perbedaan.
Aku percaya didikan orangtua sejak dini untuk menerima keberagaman serta hidup di lingkungan yang heterogen, membuat kita bijak menyikapi perbedaan. Sehingga kita mampu menganggap segala bentuk perbedaan itu adalah rahmat untuk saling melengkapi kekurangan. Bukan malah memaknainya sebagai pertentangan.
Curup, 30.05.2019
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H