Ada gula ada semut. Makna peribahasa itu kerap diujarkan. Termasuk menyikapi maraknya aksi dari dari saudara-saudara kita dengan julukan "Gepeng" (gelandang dan pengemis). Hingga acapkali kita terjebak di lingkaran "causalitas theory", mengupas tentang sebab-akibat keberadaan serta motivasi gepeng.
Keberadaan gepeng, tak lagi sebagai fenomena sosial tapi sudah merambah area penyakit masyarakat (pekat). Menjamurnya peraturan daerah tentang larangan terhadap aktivitas gepeng. Kukira cukup dijadikan alasan, kan? dan, perda ini adalah ranah hilir (refresif), bukan pada pencegahan (preventif). Â Â
Menulis artikel blog competition THR (Tebar Hikmah Ramadan) hari ini dengan topik Pro Kontra : Memberi Sedekah di Jalan. Kucoba menautkan keberadaan dan peran lembaga Filantropi Islam dalam meminimalisir penyakit masyarakat tersebut.  Â
Sekedar Pengantar tentang Filantropi
Asal kata Filantropi dari bahasa Yunani. Philein berarti cinta dan Anthropos yang berarti manusia. Bermakna tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia serta nilai kemanusiaan, sehingga menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain.
Jadi, kata kuncinya bukan pada pemberian. Tapi motif saat memberikan. Yaitu "rasa cinta" sesama manusia. Terkadang bergeser pada "rasa iba" dari setuhan kemanusiaan setiap individu. Dan "rasa iba" ini yang dominan hadir pada pemberi Sedekah, dan "dimanfaatkan" oleh penerima dengan semakin marak dan menjamurnya gelandang dan pengemis di Indonesia.
Tujuan Lembaga Filantropi
Ide lembaga filantropi adalah Pertama menghargai, mencintai dan menolong sesama manusia telah menjadi naluri dasar setiap manusia sebagai makhluk social. Dan Semua ajaran agamapun menganjurkannya. Yang menjadi unsur perekat yang menjaga keutuhan dan keharmonisan suatu komunitas;
Kedua, Adanya jurang kesenjangan sosial dan ekonomi antar manusian dan antar komunitas yang semakin besar.
Ketiga, mendorong perlu adanya usaha-usaha efektif dan terarah untuk menghimpun dan membagikan dana dari dan untuk masyarakat, serta menyatukan dan memperkuat gerak langkah bersama menghadapi tantangan pembangunan sosial, kemanusiaan dan lingkungan.
Sejarah Filantropi Islam IndonesiaÂ
Konsep filantropi telah mengakar dalam praktik masyarakat Islam di Indonesia sejak lama. Zakat, Infaq dan Sedekah (ZIS) adalah kegiatan keagamaan yang nilai dan praktiknya setua masuknya Islam di Nusantara.
Sejarah mencatat, Salah satu bentuk filantropi dari masyarakat Aceh adalah sumbangan pesawat Seulawah untuk Negara dalam masa perjuangan fisik. Singkatnya dalam masa kemerdekaan sampai awal orde baru, menunjukkan bahwa praktek filantropi, belum berbentuk lembaga atau organisasi belum disadari urgensinya oleh masyarakat Islam
Di era orde baru. 26 Oktober 1968, Presiden Suharto mendorong terbentuknya lembaga organisasi pelaksana, pertimbangan dan pengawasan ZIS. Maka terbentuklah Badan Amil Zakat Infaq dan Sedekah (BAZIS) pada 5 Desember 1968 dengan SK Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, No. Cb-14/8/18/68 di DKI Jakarta, yang selanjutnya diikuti oleh berbagai propinsi lainnya di Indonesia.
Kerja-kerja filantropi BAZIS di Indonesia telah dirasakan manfaatnya, tidak saja untuk kepentingan karitas, tetapi juga menunjang pembangunan lembaga keumatan, seperti sarana pendidikan (sekolah, madrasah, pesantren), dan juga sarana ibadah (masjid), termasuk sarana sosial (rumah sakit).
Babak baru filantropi Islam terjadi saat krisis ekonomi serta berbagai Bencana yang terjadi di Indonesia, Merupakan 'pemantik api' yang membakar semangat komunitas Muslim guna menyahuti problem tersebut. Yayasan Dompet Du'afa (YDD), dibentuk oleh sebagian karyawan harian Republika untuk merespon kelaparan yang hebat di Gunung Kidul, Yogyakarta. Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) merespon berbagai bencana alam (natural disasters), khususnya banjir dan gempa bumi di berbagai wilayah Indonesia.
Beberapa lembaga filantropi Islam lainnya, yaitu Dompet Sosial Ummul Qura (YDSUQ), Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YDSF), Yayasan Daarut Tuhiid, memiliki visi dan misi perjuangan yang sama: kemaslahatan umat. Menjadi fenomena dengan tumbuhnya organisasi filantropi Islam (OFI) yang berbasis masyarakat. sebutan Lembaga Amil Zakat Infak dan Sedekah (LAZIS).
Eksistensi dan Peran Lembaga Filantropi di Indonesia
Pada saat ini kedua organisasi filantropi Islam tersebut, BAZIS dan LAZIS, telah memiliki legalitas hukum untuk menjalankan aktivitasnya secara sah (Keputusan Menteri Agama RI No.581 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat). Menurut bisnis.com, Potensi sumbangan perusahaan di Indonesia untuk kegiatan filantropi, atau kedermawanan sosial, mencapai sekitar Rp12,45 triliun atau rata-rata sebesar Rp1,04 triliun per bulan. Banyak, ya?
Namun sesungguhnya hasilnya belum optimal menyembuhkan nestapa kemiskinan. dari detik.com, Baru 17 dan 235 anggota Forum Zakat (FOZ) yang bersertifikasi LAZ untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Kendalanya, Manajemen pengelolaan ZIS, juga pola berderma secara interpersonal sangat dominan. Hal ini tercermin dari sebagian besar muzakki (94%) menyerahkan zakatnya langsung kepada mustahik; hanya 4% dana ZIS yang diserahkan melalui BAZIS, 2% melalui LAZIS.
Berdasar riset PBB UIN Jakarta terdapat 19,3 triliun rupiah per tahun potensi dana umat dari sektor zakat, infak dan sedekah. Angka ini diperoleh dari rata-rata sumbangan keluarga Muslim per tahun sebesar 409.267 rupiah dalam bentuk tunai dan 148.200 rupiah dalam bentuk barang.
Jika jumlah rata-rata sumbangan ini dikalikan dengan jumlah keluarga Muslim di Indonesia sebesar 34, 5 juta (data BPS 2000), maka total dana yang dapat dikumpulkan mencapai 14,2 triliun. Sementara total sumbangan dalam bentuk barang sebesar 5,1 triliun rupiah
Perlahan Perlu Menggeser Mindset
Dari angka-angka itu, potensi LAZIS dan BAZIS luar biasa, kan? Apatah lagi jika digabungkan dengan dana CSR (Corporate Social Respondsibility) dari perusahaan yang tidak melalui kedua lembaga tersebut. Akan lebih luarbiasa, ya? Terus, kenapa masih marak gelandang dan pengemis?
Menurutku ada dua undur yang bisa meminimilasir bahkan memberantas fenomena sosial yang kuanggap penyakit masyarakat. Pertama, Pemberi ZIS sebaiknya menyalurkan dana ZIS-nya melalui lembaga yang terpercaya. Agar bantuan sampai pada tangan mustahiq. Kendalanya, adalah terkadang muncul berbagai persyaratan (administrasi) yang dianggap riweh oleh Mustahiq. Acapkali juga lembaga ini "terjebak dan terkonsentrasi" isu hangat semisal bencana alam.
Kedua, BAZIS atau LAZIS memperluas jaringan pendistribusian dana yang sudah dihimpun. Bukan rahasia lagi, jika lembaga gampang menghimpun, namun acapkali kesulitan dan waktu yang lamban dalam pendistribusian. Selain terkendala kelayakan juga unsur kepercayaan.
Balik lagi pada peribahasa diawal tadi. Dibutuhkan 'kekejaman dan ketegasan" dari kita. Serta pelan-pelan mengelola rasa cinta kemanusiaan agar tak terjebak dalam "rasa iba". Yang bukannya membantu. Tapi memperpanjang keberlangsungan Gelandang dan pengemis. Pameo orang dulu. Niat yang Baik dilakukan dengan cara yang salah. Akan berakhir dengan "kesalahan".
Demikianlah, Tentu tidak mudah. namun perlahan hal itu bisa dilakukan oleg bangsa sebesar ini, kan? Â Hayuk salaman
14.05.2019
Zaldychan
[Ditulis untuk Kompasiana]
Taman Baca
http://elzawa.uin-malang.ac.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H