Di kamar Kerja ini. Aku bukan setangkai edelweis. Yang terkunci pada pigura kecil, di bingkai ranting kayu jati. Tergeletak rapi di sudut meja berbahan kayu mahoni hitam. Redup cahaya lampu pijar 5 watt bertengger di tengah langit-langit kamar. Tidak di tempatku. Gelap dan pengap.
Danu, membebaskan sehelai kertas dari laci. Segera terhampar di telapak meja. meraih spidol besar berwarna merah. mencacah dua garis diagonal. Angka 17 sudah bersilang merah. Belum sempat kulihat matahari. Dingin aura kamar menjelaskan. Hari masih pagi.
17 April 2019 (05.35 WIB)
"Minum kopi, Tuan?"
Tak ada suara. Hanya anggukan pelan. Mata Danu, tak bergerak dari atas meja. Imah, pengasuh sekaligus pembantu rumah. Menghilang dari pintu kamar. Bergegas menyeduh kopi. Puluhan tahun bersama, Imah mengerti takaran kopi yang disukai Danu. Air mendidih, kopi pekat dan sedikit gula.
Imah terpaku di rak piring. Mematut ulang susunan gelas. Kecemasan mulai hadir di benak Imas. Matanya menatap dinding dapur. Mengikuti daftar nama yang tertempel. Kembali memeriksa di rak piring. Kecemasan berubah menjadi rasa takut. Tapi, Danu pasti sudah menunggu.
17 April 2019 (05.55 WIB)
"Diminum, Tuan!"
"Kenapa lama, Bi?"
Pertanyaan singkat dan dingin. Danu tak menatap wajah Imah. Matanya, masih menatap deretan angka-angka pada sehelai kertas. Yang terdampar di atas meja. Kaki Imah terpaku di lantai. Berdiri kaku disamping meja. Tak ada keberanian menatap Danu. Bola matanya menatap Edeleweis, yang terpenjara pigura bingkai reranting jati.