Angkot berhenti di depan Terminal Andalas. Aku turun, membayar ongkos. Kau mengikutiku, berjalan menuju pintu masuk terminal. Hampir jam sepuluh. Belum banyak aktivitas di terminal. Kutuju bangku kosong, menghadap loket Bus Palapa. Aku berdiri, kau berhenti.
"Duduk disini dulu, ya?"
"Eh...?"
Kau ragu. Aku mendahului. Akhirnya, kau pun duduk di sebelahku. Hening sesaat. Aku tersenyum menatapmu. Kau memandangku. Dari matamu, aku tahu. Kau menunggu reaksiku.
"Hayuk cerita!"
"Hah! Cerita apa?"
"Tentangmu."
"Disini?"
"Aneh?"
"Iya! Eh, maksud Nunik..."
"Nik, akhirnya. Kutemukan dirimu di Terminal. Nyaris empat tahun aku mencarimu."
"Tapi..."
"Kuingin, terminal bukan akhir. Tapi awal!"
Kau terdiam, menatapku. Aku tahu. Kau mencoba mengerti. Juga memahami alur fikirku. Kau tersenyum. Edarkan pandangmu ke sekitar terminal. Udara mulai terasa hangat. Kau hentikan matamu, dimataku.
"Nik, tak tahu..."
"Tak tahu apa?"
"Mulai cerita dari mana! Semua sama! Seperti di suratmu."
"Nik tak menjawab isi suratku, kan?"
"Untuk apa? Kau meminta, Nunik menunggu, kan?"
Aku terkejut. Satu suara menyebut namaku. Diiringi tepukan cepat di bahuku. Aku berdiri, menoleh ke belakang. Bang Zul! Sosok tinggi besar, berpakaian safari. Tersenyum padaku. Bertukar salam. Kau, kukenalkan pada Bang Zul.
"Mau ke Padang Panjang?"
"Aku sudah di Padang, Bang!"
"Kuliah? Dimana?"
"Di Unand, Bang!"
"Wah! Udah lama tak bertemu, ya?"
"Hehe..."
"Ikut Abang! Jangan menolak! Ajak pacarmu juga."
"Eh, tapi..."
Pergelangan tanganku, diicengkram erat. Ditarik paksa. Aku memandangmu, juga Bang Zul. Kuanggukkan kepala padamu. Sebagai tanda untuk ikuti kemauan Bang Zul. Kau berjalan di sisi kiriku. Aku di tengah, Bang Zul di kananku. Pundakku direngkuh erat, berjalan menuju sebuah bofet. Persis di tengah terminal. Sambil mengajak masuk, Bang Zul memesan tiga gelas jus alpokat. Tanpa bertanya atau menawari. Hanya berujar, bofet itu punya jus alpokat paling enak  di Kota Padang.
Bang Zul mendominasi. Kau hanya diam. Menyimak alur pembicaraan. Tak lama, seorang lelaki berpakaian batik. Menunduk sopan, berbisik pada Bang Zul. Kulihat, Bang Zul. Anggukkan kepala. Lelaki berpakaian batik itu, tak segera pergi. Tapi berdiri di belakang Bang Zul yang menatapku. Sambil tersenyum.
"Maaf. Abang pergi dulu."
"Iya, Bang!"
"Habiskan minummu. Tak usah bayar!"
"Haha...! Makasih, Bang."
"Senang bertemu denganmu. Kalau ada apa-apa disini, cari Abang!"
"Siap!"
"Oh, ya. Nik, jangan mau dijadikan pacar! Dijadikan istri aja. Takkan menyesal!"
Bang Zul sekilas menatapmu. Kau terkejut, segera menundukkan wajahmu. Menatap gelas berisi jus alpokat. Bang Zul tertawa keras, aku juga. Bang Zul meraih tanganku, cepat bertukar salam. Kembali menepuk bahuku dan segera berlalu. Lelaki berbatik itupun pergi mengikuti.
Aku menatapmu. Berusaha menahan tawa. Mengingat kalimat terakhir Bang Zul. Perlahan kau mengangkat wajahmu.
"Bang Zul itu, siapa?"
"Laki-laki!"
"Maksud Nik, kenal dimana?"
"Padang Panjang. Dia preman!"
"Bohong! Pakaiannya rapi?"
"Buktinya, bisa memaksa kita ikut. Terus, jus ini juga gak dibayar."
"Serius, Bang Zul preman?"
"Aku bohong!"
"Iiih!"
"Aduuuh!"
Nik...! Cubitan itu! Jurus pamungkasmu. Selain air matamu. Aku khawatir. Adakah hari ini. Jurus terakhir itu. Akan kau ajukan untukku?
#Nik
#GetMarried #PowerofLove #BecauseofYou #SayLovewithLetter
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H