Dampaknya? Bendungan-bendungan itu, ternyata, memendam lumpur di dasar sungai. Anak-anak "merasa" dilarang mandi-mandi di sungai. Ibu-ibu enggan mencuci pakaian dan peralatan dapur di sungai. Karena airnya keruh dan kumuh. Kecuali untuk buang air besar dan kecil.
Akibat lain? Warga terpaksa beralih ke sumber air PDAM. Tercerabutnya ketergantungan akan sungai, pun mengubah perilaku warga. Diam-diam di waktu malam dan bahkan terang-terangan, warga mulai membuang sampah ke sungai. Tak lagi ada teguran pun banyak yang enggan melarang, daripada memancing keributan.
Kebijakan penambahan gizi dengan melepas ribuan benih ikan, boleh dikatakan alami kegagalan. Dan, kebijakan itu pun hanya seusia jabatan pembuat kebijakan. Tapi ekosistem dan kehidupan keseharian warga di bantaran sungai perlahan punah. Hanya bersisa sumur legenda. Semua warga sepakat menjaga, karena muara akhir jika kemarau melanda. Dengan mata air yang tak pernah kekeringan.
Akhir tahun 2018, Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), menghadirkan kenangan lalu. Dengan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU), kenangan masa kanak-kanakku kembali. Dengan membangun Taman Kota di bantaran sungai belakang rumah. Dilengkapi dengan MCK yang permanen. Dan sumur legenda tetap dipertahankan.
Tak persis sama seperti awal tahun 80-an, karena sungai tak lagi layak untuk tempat mandi. Setidaknya, anak-anak kembali betah bermain di pinggiran sungai. Ibu-ibu setiap sore akan berkumpul dan bercengkrama dengan tetangga. Bahkan ada yang datang, untuk sekadar berfoto! Ahaaay...! Setidaknya, meminimalisir orang-orang untuk mencemari sungai, kan?
Curup, 23.02. 2019
zaldychan [Ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H