"Ukuran rumah dinilai bersih atau tidak, lihat dapurnya!"
Pernah dengar ujar-ujar itu? Kukira, ujaran itu ada karena dapur terletak di belakang, berdekatan dengan kamar mandi dan kakus. Dan cenderung tersembunyi dari penglihatan tetangga atau tamu. Nah, jika yang tersembunyi saja bersih, apatah lagi ruang tamu atau halaman yang posisinya di depan, kan?
Kenapa dapur jadi ukuran? Anggap saja, gegara di dapur biasanya dilakukan kegiatan bersih besih semisal mencuci pakaian dan piring, pun letak kotak sampah, atau malah bisa disebut. dapur tempat produksi "sampah" rumah. Haha...
Tepatnya di Kelurahan Pasar Tengah. Ada satu aliran sungai yang membelah Kota Curup. Dengan lebar antara 6-8 meter. Berhulu di kaki Bukit Kaba dan berhilir di Sungai Musi. Itu artinya puluhan kilometer panjangnya. Orang-orang jamak menyebutnya "Sungai Pasar". Dan, itu berjarak 50 meter dari rumahku. Dekat, kan?
Kenapa menjadi dapur warga? Awal 80-an, saat aku usia sekolah dasar. Sungai Pasar di belakang rumah menjadi pusat Kegiatan Warga. Karena ada tanah kosong seluas 100 meter tempat anak-anak bermain dan ditumbuhi dua pohon magang yang menjulang dan rindang. Tersedia WC umum yang dibangun swadaya. Juga ada sebuah sumur tua dengan mata air yang tak pernah kering. Malah dijuluki "Sumur Legenda".
Di waktu pagi dan sore. Apatahlagi di hari libur. Ibu-ibu akan bercengkrama sambil mencuci pakaian atau alat-alat rumah tangga, anak-anak akan bermain, terus mandi-mandi di sungai.Â
Terakhir, seluruh kegiatan itu akan berakhir antrian di sumur legenda. Untuk melakukan bilas pakaian, alat  rumah tangga plus badan. Nah, kecuali memasak. Sungai sudah mirip fungsi dapur, kan?
Karena ketergantungan akan sungai. Secara tidak langsung, warga enggan mengotori sungai. Dan akan saling mengingatkan, jika ada yang buang sampah di sungai. Kukira, itu otomatis karena ketergantungan, kan?
Awal tahun 90-an, hadirlah program peningkatan gizi masyarakat. Salah satunya melepaskan ribuan benih-benih ikan di sungai. Tindakan pencegahan dilakukan agar benih ikan tak hanyut ke hilir. Dibuatlah dam (bendungan kecil) dengan jaring berisi batu, disetiap jarak 20-30 meter.
Dampaknya? Bendungan-bendungan itu, ternyata, memendam lumpur di dasar sungai. Anak-anak "merasa" dilarang mandi-mandi di sungai. Ibu-ibu enggan mencuci pakaian dan peralatan dapur di sungai. Karena airnya keruh dan kumuh. Kecuali untuk buang air besar dan kecil.
Akibat lain? Warga terpaksa beralih ke sumber air PDAM. Tercerabutnya ketergantungan akan sungai, pun mengubah perilaku warga. Diam-diam di waktu malam dan bahkan terang-terangan, warga mulai membuang sampah ke sungai. Tak lagi ada teguran pun banyak yang enggan melarang, daripada memancing keributan.
Kebijakan penambahan gizi dengan melepas ribuan benih ikan, boleh dikatakan alami kegagalan. Dan, kebijakan itu pun hanya seusia jabatan pembuat kebijakan. Tapi ekosistem dan kehidupan keseharian warga di bantaran sungai perlahan punah. Hanya bersisa sumur legenda. Semua warga sepakat menjaga, karena muara akhir jika kemarau melanda. Dengan mata air yang tak pernah kekeringan.
Akhir tahun 2018, Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), menghadirkan kenangan lalu. Dengan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU), kenangan masa kanak-kanakku kembali. Dengan membangun Taman Kota di bantaran sungai belakang rumah. Dilengkapi dengan MCK yang permanen. Dan sumur legenda tetap dipertahankan.
Tak persis sama seperti awal tahun 80-an, karena sungai tak lagi layak untuk tempat mandi. Setidaknya, anak-anak kembali betah bermain di pinggiran sungai. Ibu-ibu setiap sore akan berkumpul dan bercengkrama dengan tetangga. Bahkan ada yang datang, untuk sekadar berfoto! Ahaaay...! Setidaknya, meminimalisir orang-orang untuk mencemari sungai, kan?
Curup, 23.02. 2019
zaldychan [Ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H