Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama FEATURED

Dulu, Sungai adalah "Dapur" Warga

23 Februari 2019   17:04 Diperbarui: 24 Juli 2021   07:11 1023
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Tahun 80-an, disini tempat Ibu-Ibu mencuci Pakaian. Dengan air sungai yang masih tergolong bersih

"Ukuran rumah dinilai bersih atau tidak, lihat dapurnya!"

Pernah dengar ujar-ujar itu? Kukira, ujaran itu ada karena dapur terletak di belakang, berdekatan dengan kamar mandi dan kakus. Dan cenderung tersembunyi dari penglihatan tetangga atau tamu. Nah, jika yang tersembunyi saja bersih, apatah lagi ruang tamu atau halaman yang posisinya di depan, kan?

Kenapa dapur jadi ukuran? Anggap saja, gegara di dapur biasanya dilakukan kegiatan bersih besih semisal mencuci pakaian dan piring, pun letak kotak sampah, atau malah bisa disebut. dapur tempat produksi "sampah" rumah. Haha...

Dokpri. Sungai Pasar yang Membelah Kota Curup
Dokpri. Sungai Pasar yang Membelah Kota Curup
Sungai Pasar, Dulunya adalah Dapur Warga

Tepatnya di Kelurahan Pasar Tengah. Ada satu aliran sungai yang membelah Kota Curup. Dengan lebar antara 6-8 meter. Berhulu di kaki Bukit Kaba dan berhilir di Sungai Musi. Itu artinya puluhan kilometer panjangnya. Orang-orang jamak menyebutnya "Sungai Pasar". Dan, itu berjarak 50 meter dari rumahku. Dekat, kan?

Kenapa menjadi dapur warga? Awal 80-an, saat aku usia sekolah dasar. Sungai Pasar di belakang rumah menjadi pusat Kegiatan Warga. Karena ada tanah kosong seluas 100 meter tempat anak-anak bermain dan ditumbuhi dua pohon magang yang menjulang dan rindang. Tersedia WC umum yang dibangun swadaya. Juga ada sebuah sumur tua dengan mata air yang tak pernah kering. Malah dijuluki "Sumur Legenda".

Di waktu pagi dan sore. Apatahlagi di hari libur. Ibu-ibu akan bercengkrama sambil mencuci pakaian atau alat-alat rumah tangga, anak-anak akan bermain, terus mandi-mandi di sungai. 

Terakhir, seluruh kegiatan itu akan berakhir antrian di sumur legenda. Untuk melakukan bilas pakaian, alat  rumah tangga plus badan. Nah, kecuali memasak. Sungai sudah mirip fungsi dapur, kan?

Dokpri. Sumur Legenda. Kenangan Yang masih tersisa
Dokpri. Sumur Legenda. Kenangan Yang masih tersisa
"Kebijakan" Mengubah Fungsi Dapur dari Sungai Pasar

Karena ketergantungan akan sungai. Secara tidak langsung, warga enggan mengotori sungai. Dan akan saling mengingatkan, jika ada yang buang sampah di sungai. Kukira, itu otomatis karena ketergantungan, kan?

Awal tahun 90-an, hadirlah program peningkatan gizi masyarakat. Salah satunya melepaskan ribuan benih-benih ikan di sungai. Tindakan pencegahan dilakukan agar benih ikan tak hanyut ke hilir. Dibuatlah dam (bendungan kecil) dengan jaring berisi batu, disetiap jarak 20-30 meter.

Dampaknya? Bendungan-bendungan itu, ternyata, memendam lumpur di dasar sungai. Anak-anak "merasa" dilarang mandi-mandi di sungai. Ibu-ibu enggan mencuci pakaian dan peralatan dapur di sungai. Karena airnya keruh dan kumuh. Kecuali untuk buang air besar dan kecil.

Akibat lain? Warga terpaksa beralih ke sumber air PDAM. Tercerabutnya ketergantungan akan sungai, pun mengubah perilaku warga. Diam-diam di waktu malam dan bahkan terang-terangan, warga mulai membuang sampah ke sungai. Tak lagi ada teguran pun banyak yang enggan melarang, daripada memancing keributan.

Kebijakan penambahan gizi dengan melepas ribuan benih ikan, boleh dikatakan alami kegagalan. Dan, kebijakan itu pun hanya seusia jabatan pembuat kebijakan. Tapi ekosistem dan kehidupan keseharian warga di bantaran sungai perlahan punah. Hanya bersisa sumur legenda. Semua warga sepakat menjaga, karena muara akhir jika kemarau melanda. Dengan mata air yang tak pernah kekeringan.

Dokpri. Tempat Kenangan disulap jadi Taman Kota pinggir sungai
Dokpri. Tempat Kenangan disulap jadi Taman Kota pinggir sungai
Program KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh) Mengubah Sungai dari Dapur menjadi Halaman Depan

Akhir tahun 2018, Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), menghadirkan kenangan lalu. Dengan program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU), kenangan masa kanak-kanakku kembali. Dengan membangun Taman Kota di bantaran sungai belakang rumah. Dilengkapi dengan MCK yang permanen. Dan sumur legenda tetap dipertahankan.

Tak persis sama seperti awal tahun 80-an, karena sungai tak lagi layak untuk tempat mandi. Setidaknya, anak-anak kembali betah bermain di pinggiran sungai. Ibu-ibu setiap sore akan berkumpul dan bercengkrama dengan tetangga. Bahkan ada yang datang, untuk sekadar berfoto! Ahaaay...! Setidaknya, meminimalisir orang-orang untuk mencemari sungai, kan?

Dokpri. Anak-anak kembali menemukan sarana lebih dekat dengan sungai yang harus dijaga
Dokpri. Anak-anak kembali menemukan sarana lebih dekat dengan sungai yang harus dijaga
Kabar baiknya, tahun 2019 ini. Akan dilakukan program Ruang Terbuka Hijau (RTH), dengan jarak 4 meter dari bibir sungai. Jika benar, maka Sungai Pasar tak lagi menjadi Dapur, tapi berubah menjadi halaman depan Warga.

Curup, 23.02. 2019
zaldychan [Ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun