Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Gadismu, Bukan Narto!

13 Februari 2019   22:45 Diperbarui: 13 Februari 2019   22:59 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by : pixabay.com

Acil mereguk kopi. Meraih bungkus rokok, menyalakan sebatang. Hempasan kepulan asap rokok itu, memenuhi ruangan yang sedari tadi sunyi senyap. Putri, perempuan berwajah ayu dengan gerai rambut sebahu. Hanya bisa diam memperhatikan gerak-gerik Acil. Tak berani bersuara.

"Berapa bulan?"
"Tiga, Bang!"
"Kenapa kemarin tak bilang?"

Putri mengenal nada itu. lirih, dingin dan menusuk. diam adalah pilihan terbaik. Jika tidak, lelaki dihadapannya akan meledak.

"Ambilkan parangku!"
"Bang..."
"Kau dengar?"

Tak perlu lagi diulangi. Putri segera melesat ke dapur. Dadanya bergemuruh. Tubuhnya bergetar. tangannya pun terasa gemetar. Tapi kalimat Acil adalah perintah. Bruk! Praaang! Beberapa gelas berjatuhan berderai di lantai. Putri tak peduli. Sibuk mencari parang.

"Hei! Apa itu?"
"Gelas, Bang. Tersenggol!"

Terbata, Putri menjawab teriakan Acil. Matanya juga ingatannya dipusatkan untuk mencari parang. parang bergagang kayu hitam, berukir kepala naga. Sudah lama tak digunakan. Terakhir, lima tahun lalu. Dan, seminggu lalu Acil keluar dari penjara. Parang itu, sekarang ditanya pemiliknya. Putri lega. Benda itu, masih ada tapi berdebu. Sedikit berkarat di dekat gagang kepala naga. Sekilas, dibersihkan Putri dengan kain sarungnya.

Mata Acil bersinar. Menatap tangan Putri yang sudah memegang parang kesayangnya itu. Acil tersenyum, saat benda itu berpindah tangan.

"Dimana kamu sembunyikan?"
"Di Batang Bambu pinggir kolam, Bang! Polisi mengeledah seisi rumah!"
"Pantas! Ini mulai berkarat!"
"Maaf, Bang! Baru sebulan lalu, berani kuambil lagi!'
"Bagus! Polisi tak bertanya padamu?"
"Aku bilang tidak tahu!"

Acil tertawa kecil. Mereguk habis isi gelas berkopi. Meraih bungkus rokok, segera disimpan ke saku baju. Acil berdiri bersiap pergi.

"Abang mau kemana?"
"Batu asah dimana?"

Spontan mata Putri melirik ke dapur. Acil melengos melewati Putri, mencari batu asah.

Putri terduduk. Menyesali ceritanya tadi. Acil, suaminya. Berperawakan kecil tapi berwatak keras. Lelaki yang bertanggung jawab dan miliki harga diri. Memiliki prinsip hidup. Tak mengganggu dan jangan diganggu. Putri memahami itu.

Mendiang Narto, bujang tua tetangga sebelah rumah. Adalah korban prinsip Acil itu. Putri ingat. Malam itu, terlanjur berucap pada suaminya. Narto sering merayu dan mengintip, serta mengancam akan memperkosanya.

"Sembuyikan ini!"

Hanya itu pesan Acil sebelum pergi. Usai shubuh. Putri mendengar berita. Mayat Narto bersimbah darah, ditemukan di batas desa. Putri tahu apa yang terjadi. Belum lagi pagi, Parang Acil sudah disembunyikan putri. Dan,  baru satu minggu kemudian. Putri menjenguk suaminya di penjara. Putri membawa Sri. Yang menangis memeluk ayahnya. Ingatan Putri mengulang kejadian lima tahun lalu. Saat itu, anak gadisnya baru kelas satu.

Sekarang, Sri sudah kelas enam. Sebentar lagi ujian akhir. Putri tak ingin kejadian lalu terulang lagi. Segera menyusul suaminya ke dapur.

Acil sedang serius mengasah parang. mata parang itu kembali berkilat. Acil tersenyum menatap Putri.

"Kenapa wajahmu pucat?"

Acil bergerak pelan. Melangkah mendekati Putri. Suaranya lirih. Tapi bak dentuman meriam bagi Putri. Parang tajam itu terhunus di tangan kanan Acil. Putri berdiri kaku. Diam tak bergerak. Mata Acil menatap teduh.

"Ambilkan baju lengan panjang!"

Nada suara itu tetap sama. Putri segera ke kamar tidur. Mencari yang diminta suaminya. Saat keluar, Acil sudah membuka baju. Parang tergeletak di atas meja. Di sebelah gelas kopi tanpa isi.

Tanpa suara, Putri menyerahkan baju panjang berwarna biru. Acil langsung memakai baju itu. Putri melirik jam di dinding. Sudah jam lima sore. Sebentar lagi Sri, gadisnya. Pulang dari mengaji. Acil pun, mengikuti mata istrinya.

"Sebentar lagi, Sri pulang, kan?"
"Iya, Bang!"
"Aku tunggu di pinggir kolam! Suruh Sri menyusul!"

Tak terkendali. Putri mencengkram erat lengan Acil. Bersujud di kaki suaminya. Ingatan Putri kembali Bayangan mendiang Narto. Putri tak ingin...

"Abang mau..."
"Hei! Kenapa menangis?"
"Bunuh saja aku, Bang! Jangan Sri! Anak kita masih..."
"Siapa yang mau membunuh Sri?"

Sesaat Acil terkejut. Namun segera menyadari yang dipikirkan istrinya. Acil tersenyum mengusap kepala putri.

"Kau tahu, kan? Sri bukan Narto!"
"Parang itu..."
"Mau nebang bambu. Biar uang sekolah Sri lunas!"

Acil tertawa. Segera menuju pintu keluar. Sesaat menatap Putri. Sambil kedipkan mata.

"Jangan lupa! Suruh Sri bawa air minum!"
"Eh! iya, Bang!"
"Ingat! Gadismu itu, bukan Narto!"
"Iya, Bang. Maaf!"
"Hapus air matamu!"

Curup, 11. 02.  2019
zaldychan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun