"Mungkin, Anak itu dari keluarga brokenhome!"
"Tenggelamkan!"
"Kalau aku, Besok anak itu tak akan lihat matahari lagi!"
"Pasti Anak itu hadiah kuaci, Bang!"
"Bisa jadi, Bapak itu..."
Seratus enambelas tanggapan. Tujuhpuluh tiga komentar. Empat puluh kali, dibagikan! Aku terdiam, video itu terlanjur viral! Mataku beralih dari layar hp. kureguk kopi pagi. mengambil nafas dalam. menerawangi perasaan orang-orang yang ada dalam video itu. Aku tahu, siapapun berhak berkomentar terhadap video itu. Seorang murid, berlaku tak pantas pada seorang guru. Semua sepakat, itu bukan etika moral yang diinginkan.
"Anak kurang ajar! Siapa yang ngajari begitu!"
"Jangan menghakimi. Kita belum tahu, cerita sebenarnya seperti apa?"
"Ini pengaruh media sosial yang..."
"Pemerintah perlu menyikapi...
"Buat Undang-undang Perlindungan Guru. Agar..."
Akh...! Sudah seratus empat puluh komentar. Belum sempat satupun kubalas. Kulanjutkan membaca komentar yang terus hadir. Seperti bola salju. Butiran es, mengajak seluruh salju di sekitarnya membentuk lingkaran besar. Menjadi sarang laba-laba.
"Tak bisa sepenuhnya, menyalahkan siswa itu! Orang tua saat ini..."
"Susah mencari sosok yang bisa dijadikan panutan! Sekarang ini, banyak..."
"Kesejahteraan guru harus ditingkatkan! Maka pilihlah Capres nomor urut..."
Kututup layar hp, kembali kureguk kopi. matahari sudah semakin tinggi. Jalanan Kota Curup, sudah mulai sepi. Termasuk Kedai Kopi ini.
Dari pangkalan ojek, Goni lambaikan tangan menyapaku. Kuanggukkan kepala, mengajak ke Kedai Kopi. Sedikit enggan, Goni melangkah pelan menghampiriku. Segera bertukar salam.
"Baru narik?"
"Tapi gratisan, Bang!"
"Kenapa? Kok bisa?"
"Ongkos ojek lima ribu. Aku di serahkan selembar biru..."
"Limapuluh ribu? Wah! Rezeki pagi!"
"Mana ada kembalian, Bang!"
"Lah? Jadi.."
"Balik kanan, Bang!"
Goni garuk kepala. Banyak kudengar cerita seperti itu. Pasti keputusan sulit. Kutepuk pelan bahu Goni.
"Anggap aja, sedekah pagi!"
"Tapi terpaksa, Bang!"
"Haha..."
"Aku belum ngopi. Abang traktir, ya?"
"Pesan aja!"
Goni segera beranjak memesan kopi. Kunyalakan rokok. hpku sejak tadi tak berhenti bergetar. Duaratus empatpuluh notifikasi! Tapi, aku enggan membaca lagi. Goni kembali duduk di sampingku. Sekilas anggukkan kepala, meraih bungkus rokokku. Sambil tersenyum malu.
"Abang juga sedekah pagi padaku, ya?"
"Haha..."
"Eh, Abang sudah nonton video Murid yang..."
"Bahas yang lain aja!"
Ucapanku telat. Goni sudah membuka hp miliknya. Sesaat sibuk mencari sesuatu. Dan antusias menyodorkan layar hp itu ke wajahku.
"Anak ini, sepertiku dulu, Bang!"
"Oh!"
"Tapi, takkan ada asap jika tak ada api!"
"Iya!"
"Gak mungkin, tanpa alasan. Murid berlaku seperti itu, kan?"
"Iya."
"Aku diberhentikan sekolah! Sialnya, sekolah lain tak mau terima, saat aku ingin pindah."
"Karena kamu bandel?"
"Cuma sedikit, Bang! Kalau sekarang. Setahun tiga kali pindah, tak masalah! Yang penting ada duit."
kuanggukkan kepala. Goni sudah menikmati kopi. Kulakukan hal yang sama, hingga bersisa ampas.
"Untung masa itu belum ada hp, Bang! Kalau ada, Dan orangtuaku tahu. Bapak pasti membunuhku! Karena malu."
Aku tersenyum, sekali lagi menepuk pelan bahu Goni. Aku berdiri. Sudah lewati pukul sembilan. Aku harus pergi.
"Abang mau kemana?"
"Ngajar dulu!"
"Bukannya telat?"
"Sedikit!"
Curup. 11.02.2019
zaldychan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H