Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Malin Kundang Sudah Dimaafkan Ibu!

6 Februari 2019   19:28 Diperbarui: 7 Februari 2019   06:53 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malin Kundang sudah berdiri di pintu. Kemudian melangkah ringan menghadapku. Sehelai kertas kosong agak kumal, berwarna merah hadir di mejaku. Kedua tangannya bertelekan disisi kiri- kanan kertas itu. matanya menatapku. kurasakan gusar dan amarah, terbenam di mata itu.

"Aku mengundurkan diri! Aku malu menjadi legenda!"

Plak!
Tepukan keras singgah di pipiku. Malin Kundang pergi. Sisakan hangat wajahku. Belum sempat bertanya. Satu raga hadir dari jendela. Berdiri di depanku.

"Aku juga undur diri sebagai warga!"

Brak!
Aku terkejut. Roro Jonggrang pun pergi. Menyisakan pukulan keras di jendela dan memecahkan kaca. Dua helai kertas. Sama kumalnya, terhampar di meja. Tak ada tulisan. Hanya cap jempol berwarna merah darah.

Kraak!
Patahan genteng berjatuhan, nyaris menimpa kepalaku. Tangan raksasa, tapi mirip capit mucul dari langit. Sehelai kertas melayang lamban, jatuh persis ke atas mejaku. Kumal yang sama. Ada cap juga. bukan jempol, tapi capit. Bukan merah tapi hijau lumut. Tanpa tulisan, Ande-ande Lumut pun tak tinggalkan pesan. Kukira bernada sama dengan Malin Kundang dan Roro Jonggrang.

Lima menit. Sepuluh, Delapan belas, nyaris tiga puluh menit. Tak lagi ada yang menemuiku. Baik melalui pintu, jendela atau atap rumah.

Terbukti desas-desus akhir pekan ini. Para legenda akan ajukan pengunduran diri. tak hanya sebatas mundur sebagai legenda. Tapi juga sebagai warga. Aku tersenyum. Itu hanya ekpresi sesaat. Akibat kegagalan melakukan mosi tidak percaya padaku.

Aku bangkit dari meja. Bergerak menuju jendela. Tiba-tiba cermin tersenyum dan menyapaku.

"Tenang saja! Hanya tiga!"
"Aku heran! Bagaimana dulu bisa jadi legenda. Jika menulis saja tak bisa?"
"Haha..."

Kutinggalkan cermin. Menuju jendela. Baru kudengar, terjadi hiruk pikuk. Kabut debu bercampur luluh lantak pagar halaman rumah. Aku tersadar. Sejak minggu lalu, sengaja diciptakan hening di sekitarku.

Macan Kumbang penguasa daratku, terikat di batang tebu. Di jaga Sekumpulan Elang. Jalak Hitam, penguasa Udaraku terikat Cacing Pita. Tak bergerak, dijepit ekor puluhan burung Cendrawasih. Aku nyaris menangis, melihat Labilabi. Penguasa airku, sibuk menelan cairan bayam. Dipaksa oleh Komodo dan burung Kakaktua.

Orang Utan terlihat cantik memakai sari. Badak kenakan kacamata hitam, melakukan gerakan lincah energik. Sesekali teriak aye..aye! Mataku terasa berjamur. Tak lagi jelas apa yang sudah terjadi di luar.

aku bergegas keluar pintu. Malin Kundang menghadangku. Tanpa kuketahui datangnya, Kancil bergegas duduk bersila dihadapanku. Anggun, seraya anggukkan kepala memintaku duduk. Tak ada pilihan. Kuikuti isyarat Kancil.

"Anda terkejut?"

Aku terperangah! Kancil berbicara menggunakan kata "Anda". Bukan "Bapak" atau "Yang Mulia" seperti biasa. Tapi, posisi dan situasi saat ini, tak menguntungkan bagiku. Amarah kusimpan diam-diam di hati.

"Ada apa, Ini?"
"Anda tenang saja di dalam rumah!"
"Tapi..."
"Kami tak akan mengambil kekuasaan Anda!  Santai saja! Kami akan mengatur diri kami sendiri!"
"Macan Kumbang, Jalak Hitam juga..."
"Mereka Marah! Ingin pindah. Tapi tak disetujui teman-teman!"
"Eh? Pindah? Maksudmu..."
"Mulai tadi pagi, Disini bebas! Mau pilih warga mana saja. Atau negara mana saja. Tiap hari tukar juga boleh!"
"Hei!"
"Semua setuju, kok! Termasuk tiga anak buah Anda itu! Tapi di tolak!"
"Tapi Kenapa?"
"Untuk apa lagi bertahan? Para legenda kecewa. Tak lagi dikenal. Bahkan Sudah dilupakan! Aku, Roro Jonggrang,  Bimba, si Pahit Lidah, Orang Utan, Komondo, Cendrawasih, Badak..."
"Sudah! Sudaaah!"
"Kami merasa, Anda..."
"Diam! Siapa yang punya ide ini?"
"Malin Kundang!"

Aku terpaku. Bocah itu lagi! Mataku menatap Malin Kundang yang masih berdiri tanpa ekspresi. Seakan menjaga Kancil yang masih tenang duduk bersila. Kali ini Kancil tidak lagi tersenyum.

"Kembalilah ke dalam. Aku jamin! Tak kan ada yang ingin mengganggu Anda!"
"Eh! Sejak kapan kau berani mengaturku!"

Suaraku terdengar keras. Dalam sekejap, Gatot Kaca segera menghampiriku. Bawang putih dan Bawang merah melangkah kearahku. Buto Ijo, si Pahit Lidah, Bobo dan Paman Gembul. Bimba, si Kuncung, Bona si Gajah Kecil sudah mengelilingiku.

Aku menelan ludah. Merasa kalah. Kancil, dengan anggun. Kembali anggukkan kepala. Memintaku masuk. Aku segera berbalik badan menuju pintu. Tapi kembali kalah oleh rasa ingin tahuku. Sekilas aku melirik Malin Kundang. Kemudian menatap Kancil.

"Sejak kapan berubah? Bukankah Malin Kundang, sudah membatu?"
"Malin Kundang telah dimaafkan Ibu Pertiwi!"

Curup, 06.02.2019
zaldychan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun