Malin Kundang sudah berdiri di pintu. Kemudian melangkah ringan menghadapku. Sehelai kertas kosong agak kumal, berwarna merah hadir di mejaku. Kedua tangannya bertelekan disisi kiri- kanan kertas itu. matanya menatapku. kurasakan gusar dan amarah, terbenam di mata itu.
"Aku mengundurkan diri! Aku malu menjadi legenda!"
Plak!
Tepukan keras singgah di pipiku. Malin Kundang pergi. Sisakan hangat wajahku. Belum sempat bertanya. Satu raga hadir dari jendela. Berdiri di depanku.
"Aku juga undur diri sebagai warga!"
Brak!
Aku terkejut. Roro Jonggrang pun pergi. Menyisakan pukulan keras di jendela dan memecahkan kaca. Dua helai kertas. Sama kumalnya, terhampar di meja. Tak ada tulisan. Hanya cap jempol berwarna merah darah.
Kraak!
Patahan genteng berjatuhan, nyaris menimpa kepalaku. Tangan raksasa, tapi mirip capit mucul dari langit. Sehelai kertas melayang lamban, jatuh persis ke atas mejaku. Kumal yang sama. Ada cap juga. bukan jempol, tapi capit. Bukan merah tapi hijau lumut. Tanpa tulisan, Ande-ande Lumut pun tak tinggalkan pesan. Kukira bernada sama dengan Malin Kundang dan Roro Jonggrang.
Lima menit. Sepuluh, Delapan belas, nyaris tiga puluh menit. Tak lagi ada yang menemuiku. Baik melalui pintu, jendela atau atap rumah.
Terbukti desas-desus akhir pekan ini. Para legenda akan ajukan pengunduran diri. tak hanya sebatas mundur sebagai legenda. Tapi juga sebagai warga. Aku tersenyum. Itu hanya ekpresi sesaat. Akibat kegagalan melakukan mosi tidak percaya padaku.
Aku bangkit dari meja. Bergerak menuju jendela. Tiba-tiba cermin tersenyum dan menyapaku.
"Tenang saja! Hanya tiga!"
"Aku heran! Bagaimana dulu bisa jadi legenda. Jika menulis saja tak bisa?"
"Haha..."
Kutinggalkan cermin. Menuju jendela. Baru kudengar, terjadi hiruk pikuk. Kabut debu bercampur luluh lantak pagar halaman rumah. Aku tersadar. Sejak minggu lalu, sengaja diciptakan hening di sekitarku.