Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Panggil Aku Kades, Bik!

30 Januari 2019   10:53 Diperbarui: 30 Januari 2019   11:10 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto by: pixabay.com

Pagi ini, baru pukul setengah tujuh. Pelayat sudah berkerumun memenuhi ruang tamu. Bergantian membuka dan menutup selendang transparan. Menatap wajah Kades Gerot dengan mata terpejam. Silih berganti jiran tetangga dan orang-orang yang mengenalnya. datang, berdoa dan pergi. semua sepakat, menjumpai Kades Gerot untuk terakhir kali.

Dan, bergantian pula. Terburu dan diam-diam, tangan para pelayat menyelipkan amplop ke tangan Bik Rat. Tapi banyak juga yang menaruh langsung amplop atau uang duka ke dalam baskom plastik warna hijau. Dasar baskom di alasi satu atau dua canting beras. di tutupi selendang warna hitam. Itu tradisi turun temurun. Entah sejak kapan.

Kukira, takkan ada warga desa Lubuk Kembangyang tak kenal Kades Gerot. Dari anak-anak, remaja, pemuda atau orang tertua di desa. Kades tanpa hitungan periode karena Pak Gerot adalah pemimpin warga saat membuka belantara menjadi desa. Tetua yang dihormati bahkan legenda yang disegani. Tak hanya warga Desa Lubuk Kembang. Juga desa-desa tetangga. Hingga berakhir saat Kades Gerot tak lagi mau dipilih, dengan alasan usia.

Sudah sepuluh tahun, bergantian tiga orang menjabat kades desa Lubuk Kembang. Harus rela tak pernah dipanggil Pak Kades. Masyarakat Desa tetap menganggap panggilan Pak Kades hanya layak untuk Gerot. Termasuk aku.

"Bang, dimana ambil papan? Butuh dua keping!"
"Kopi dan rokok untuk tukang gali kubur, Bang?"
"Bang, kursi cuma ada tiga puluh! Masih butuh... "
"Sekarang musim hujan. Terpal milik desa..."

Semua pertanyaan dan aduan dari orang-orang itu, bermuara pada satu jawaban.

"Ambil di rumahku!"

Bik Rat, Istri Kades Gerot. Tak henti menyeka air mata duka. Pun silih berganti menerima pelukan serta mendengar bisikan pelan untuk menguatkan hati Bik Rat. Saputangan biru dan ujung selendang  warna ungu, sudah basah dengan air mata.

"Bang, Jam berapa Kades Gerot dikuburkan?"
"Segera saja. Tak ada yang di tunggu, kan?"
"Tapi..."
"Sebaiknya, disegerakan!"
"Di rumah ini, tak ada... "
"Bilang pada suamimu. Sebentar lagi, jenazah Kades Gerot dimandikan!"

Kades Gerot dan Bik Rat. Hanya miliki satu Anak laki-laki. Sudah mati, di malam idul fitri. empat tahun lalu. Terjatuh dan terlindas mobil arakan pawai takbiran menyambut lebaran.

Irah, perempuan empat puluh tahun yang berdiri dan berbisik pelan di depanku, adalah tetangga persis sebelahan dinding dengan Kades Gerot. Tak lagi bersuara, Irah segera berlalu dari hadapanku. Kukira mencari Amran. Suami sekaligus Imam Desa Lubuk Kembang.

Aku bergerak menuju kamar mandi di belakang rumah. Beberapa orang bergantian menimba air sumur. Amran,  sudah ada diantara mereka. aku tersenyum dan anggukkan kepala kepada Amran. Dan bergegas kembali keluar rumah. Tapi langkahku tertahan. Di pintu kamar.

"Masih kurang, Bik!"
"Cuma itu yang... "
"Beras masih kurang duapuluh kilo. Ayam,  sudah cukup. Tapi kan harus beli minyak goreng? Cabe?"
"Seadanya saja, Rah!"
"Tapi Bapak pernah jadi Kades, Bik! Nanti, malah jadi bahan omongan orang-orang!"
"Biarlah!"

Aku mendengar jawaban pasrah kudengar dari Bik Rat. Kamar itu tetiba sunyi. Jamak tradisi di Desa Lubuk Kembang. Peristiwa kematian seperti peristiwa pernikahan. Mesti ada jamuan untuk pelayat, saat berdo'a takziah hingga diakhiri memotong seekor kambing. Pada ritual doa hari ketujuh.

Aku masih diam di pintu kamar. Rasa ingin tahu, menahan langkah kakiku. Saat kudengar kalimat Bik Rat.

"Yang di Baskom? Sudah..."
"Sudah dua kali di ambil. Untuk beli gula,  kopi dan beras!"
"Ya, sudah! Bapak dan Bibik juga gak punya apa-apa lagi!"

Aku tersentak, satu suara memanggil namaku. Ternyata Pak Camat, turut hadir melayat. Segera kutemui dan bertukar salam.  Aku tersenyum. Pak Camat tidak.

"Terima kasih, sudah hadir melayat, Pak Camat!"
"Kau sudah baca pesanku?"
"Sudah, Pak!"
"Cari nota kwitansinya! Atau kau pun kuajak ke penjara!"

Percakapan lirih aku dan Pak Camat. Dengan nada yang tegas namun pelan menyapu liang telingaku.

Tergopoh, Bik Rat keluar dari kamar segera menemui dan menyalami Pak Camat. Pak Camat memberikan senyum tulus.

"Almarhum, orang baik! Pasti masuk surga. Jasanya terhadap desa ini luar biasa!"
"Amiiin.."
"Kalau ada kesulitan. Langsung saja bilang pada Kades. Biar nanti disampaikan pada saya."
"Terima kasih, Pak Camat. Aku tak melihat. Tapi aku tahu,  Pak Kades sudah banyak membantuku!"

Bik Rat tersenyum dan anggukkan kepala ke arahku. Aku pun begitu. Tak lama,  Pak Camat segera undur diri. Kuantar hingga halaman rumah. Kembali bertukar salam. Pak Camat membuka kacamata hitamnya. Mata tajam terhujam padaku.

"Cari nota pembelian itu! Senilai tigapuluh lima juta!"
"Segera, Pak!"
"Jangan lupa,  siapkan nota kosong! Untuk jaga-jaga. Siapa tahu berguna!"
"Siap,  Pak!"
"Ingat pesanku tadi?"
"Iya, Pak!"
"Jika aku dipenjara. Kau juga!"
"Ampun, Pak!"

Curup,  30.01.2019
zaldychan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun