Mohon tunggu...
Zaldi Euli
Zaldi Euli Mohon Tunggu... -

warga negara yang gemar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Siasat Perusahaan Cegah Api Datang Kembali

12 Februari 2016   11:06 Diperbarui: 13 Februari 2016   00:38 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Hutan akasia di Riau (sumber: mongabay.co.id)"]Sebagian besar wilayah di Indonesia tengah memasuki musim hujan, dan sebagian dari wilayah tersebut mengalami bencana banjir. Seakan bencana telah menjadi penanggalan rutin kita. Hujan identik dengan banjir, kemarau lekat dengan kebakaran.

Dan seperti biasa kita baru terhenyak, menaruh perhatian lebih ketika bencana telah terjadi. Padahal, semestinya kita antisipasi bencana dari jauh hari. Banjir memang sudah hadir di depan mata sebagian masyarakat, di antaranya Riau, Bangka Belitung, dan Sumatera Barat.

Setelah banjir, apalagi? Kita ingat tahun kemarin selepas geger banjir awal tahun datanglah bencana asap akibat kebakaran hutan. Ya, kebakaran yang pada 2015 lalu sampai membuat negera tetangga seperti Malaysia dan Singapura ikut merasakan dampaknya berupa limpahan asap yang sangat mengganggu.

Bila membicarakan akar permasalahan kebakaran hutan, alangkah rumitnya. Aspek yang melingkupi mulai dari sosial-budaya, politik, ekonomi, dan lingkungan saling tumpang tindih. Apalagi jika hendak menuding siapa yang paling bertanggung jawab. Rasanya tidak akan ada habisnya.

Salah satu NGO paling terkemuka yang menyuarakan isu kebakaran hutan baik tingkat regional maupun global adalah Greenpeace. Ya, NGO hijau yang didirikan di Kanada sejak tahun 1971 ini dapat dikatakan sebagai salah satu pihak paling terkemuka dalam mengangkat isu lingkungan.

Ketika kita buka website Greenpeace versi Indonesia kita akan dapati berbagai jenis isu lingkungan yang disorot oleh NGO yang berkantor pusat di Amsterdam, Belanda ini. Mulai dari isu pemanasan global (global warming), kelestarian flora dan fauna, pencemaran air, tanah, dan udara, juga tentunya kebakaran hutan.

Salah satu yang menarik perhatian adalah ketika saya menemukan laporan penyebab dan solusi kebakaran hutan 2015 oleh Greenpeace. Jika dicermati, betapa banyak variabel penyebab kebakaran dengan rentang waktu yang panjang, yaitu puluhan tahun ke belakang.

Greenpecae menyebut baik pemerintah, masyarakat lokal, dan perusahaan perkebunan masing-masing memiliki andil dalam pencegahan dan solusi kebakaran hutan.

Yang cukup menarik bagi saya adalah bagian perusahaan perkebunan. Yang selama ini tertanam di benak masyarakat luas bahwa pihak perusahaan perkebunan lah sebagai biang keladinya. Namun nyatanya faktanya tidak selalu seperti itu.

Rumor yang beredar bahwa kebakaran disengaja untuk membuka lahan mungkin dalam beberapa kasus memang benar adanya, misalnya dalam konteks perkebunan kelapa sawit. Namun bagi perusahaan Hutan Tanaman Industri, misalnya pulp dan kertas, hal ini tidak berlaku.

Ketika terjadi kebakaran besar pada September 2015 lalu, perusahaan kertas turut menjadi pihak yang mengalami kerugian dalam skala besar. Pasalnya bahan baku utama industri kertas adalah pohon akasia, yang pada waktu kebakaran dalam kondisi siap panen.  Dilaporkan jutaan pohon akasia turut terbakar hingga mengganggu rantai produksi kertas.

Hal inilah yang membuat saya jadi berpikir ulang, melihat secara lebih obyektif, bahwa tidak selamanya asumsi yang kita punyai adalah tepat dan akurat sebagaimana realitas di lapangan.

Selanjutnya saya juga mengintip salah satu web seputar ilmu lingkungan populer dan berita konservasi, yaitu mongabay. Menurut redaksi, mongabay sejak tahun 1999 telah menjadi salah satu situs utama untuk berita, analisis dan informasi mengenai hutan tropis. Situs ini dikunjungi lebih dari dua juta pengunjung setiap bulannya, membuatnya menjadi salah satu web dengan “the most visited eco-focused” di internet.

Yang menyita perhatian saya adalah dalam salah satu artikel terbarunya, mongabay memaparkan secara cukup rinci bahwa perusahaan kertas kini telah mengalami pergeseran paradigma yang signifikan dalam menjalankan bisnisnya. Pelopor dari gerakan ini adalah Asia Pulp & Paper, salah satu pemain utama dalam industri kertas regional dan global.

Hal ini harus mereka lakukan, karena jika melulu menjalankan bisnis seperti biasanya dengan sikap acuh tak acuh tanpa memerhatikan kelestarian lingkungan, mereka sendiri akan turut menjadi korban.

Maka itu perusahaan kertas kini sangat mendorong berbagai solusi untuk mencegah terulangnya kebakaran hutan, sampai dengan ke akar-akarnya, salah satunya adalah restorasi lahan gambut dalam skala masif. Lahan gambut inilah yang menajdi penyebab utama kebakaran hutan sulit dipadamkan. Ini memang pekerjaan besar yang rumit dan tidak mudah. Namun niat baik ini rasanya perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak.

APP sendiri menyoroti tiga aspek terkait restorasi lahan gambut dan inisiatif pengelolaannya: pembangunan lebih dari 3.500 bendungan untuk membasahi lahan gambut kering, moratorium 7.000 hektar perkebunan aktif, dan pendirian yayasan independen yang mendukung konservasi lahan gambut.

Bahkan Greenpeace sendiri turut mengapresiasi niat baik dan komitmen perusahaan ini. Bahwa niat baik dan komitmen perusahaan belum sempurna dan masih banyak kelemahan di sana-sini, itu memang harus diakui. Namun rasanya akan lebih bijak jika kita semua fokus kepada apa yang telah dan akan dilakukan oleh perusahaan ke depan, dalam konteks pengambilan peran untuk mencegah terjadinya kebakaran di hari esok.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun