Singkat cerita, saat pulang, salah seorang dari kami ditemani seorang videografer amatir mendatagi petugas yang masih sama seperti pagi harinya.
Â
"Mengapa tadi tidak langsung dihitung, pak," ujar petugas seperti yang saya dengar dari rekaman sang videografer. Tapi akhirnya petugas memberikan 3 lembar tiket setelah teman kami menyampaikan kalau tiket ini harus kami petanggungjawabkan ke lembaga.
Â
Kami (saya dan kawan-kawan) iseng saja menghitung, kalau 1 mobil bisa lolos 3 tiket, sedang kami melihat berderet-deret mobil di lokasi parkir hingga kami susah menemukan tempat untuk parkir mobil kami. Bagaimana kalau bus, yang kami lihat juga berderet-deret, bisa saja 5-10 tiket yang lolos. Wah, berapa rupiah yang bisa lolos untuk diserahkan kepada Pemda?
Â
Pengalaman lainnya saat saya menerima karcis parkir motor yang disitu tertulis Rp.500, tapi saya harus membayar Rp.1.000. Karcis saya terima dalam kondisi dilipat, sehingga angka Rp.500 pasti luput dari pengamatan para pengendara motor yang parkit disitu, di lokasi layanan publik milik Pemda juga. Sekian deretan motor pasti berpikir,"ah, hanya Rp.500 aja kok selisihnya, malas mau mengurus daripada bikin ribut". Apalagi penampilan petugas parkir (yang kebetulan saya hadapi) nyaris lagak preman dengan intonasi suara yang menggelegar... Saya pun baru menyadari kalau di karcis parkir tertulis Rp.500 saat menjelang pulang.
Â
Coba sekarang kita hitung, berapa rupiah yang dapat diserap para petugas parkir dengan cara seperti ini. Padahal baik petugas tiket tempat wisata milik dan petugas parkir yang keduanya milik Pemda, pasti sudah menerima gaji minimal standart UMR.
Â
Pengalaman ini berbeda dengan parkir di supermarket yang dikelola swasta. Dulu saat harga karcis Rp.300, saya juga hanya membayar Rp.300. Uang kembalian Rp.200 juga saya terima kalau saya serahnya Rp.500. Mungkin karena sekarang sudah sulit mendapatkan receh Rp.100 dan Rp.200, tulisan di karcis parkir menjadi Rp.500. Tapi tak pernah saya harus membayar lebih dari itu.