Kau bisikkan agar aku menceritakan sesuatu sebagai pengantar tidurmu. Katamu, malam ini kau benar2 ingin pulas, setelah sekian malam terserang dahsyatnya insomnia. Kau demikian manis, demikian pula aku saat menanggapi permintaanmu. Padahal masing-masing kita sama-sama tahu, ada serengkuh kisah dalam beberapa hari ini yang rapat kita simpan dari wacana.
Aku telah melapisi cerita ini dengan selembar beludru yang akan menabiri kisah sejatinya.
Aku memulainya.
Seperti biasa, sore itu kita berdua menghabiskan waktu dengan berbagi ide serta ditemani kopi hitam kental dan pisang goreng kegemaran kita. Kubeberkan gagasanku untuk membangun joglo pada sebidang tanah yang tersisa di depan rumah kita. Kau langsung menjentikkan ibu jari dengan jari tengahmu, sembari berseru,"Ini akan lebih besar dari rumah budaya yang pernah kita singgahi! Pasti begitu gagasanmu itu! Aku sangat tahu!" serumu berapi-api.
"Entahlah. Aku tak yakin soal ukuran materialnya. Tapi aku pastikan akan ada diskusi buku dan lukisan," kataku begitu saja. Tentu kau masih ingat. Karena saat kukatakan itu, mendadak kau tarik wajahmu, dahimu pun mengerut, kedua sisi alismu merapat. Begitu kau sadari pandangan awasku di setiap geliat mimikmu, kau langsung membuang muka.
"Hanya diskusi buku dan lukisan?"
"Ya. Kenapa?"
"Justru aku yang ingin menanyakan, kenapa hanya buku dan lukisan. Itu sangat sempit. Aku pikir kau akan menggagas yang lebih dahsyar dari rumah budaya itu."
"Seperti apa menurutmu?"
"Ya... apapun itu, yang pasti bukan hanya buku dan lukisan saja lah."
"Kau selalu begitu saat kumintai pendapat. Maka sebaiknya kau dengarkan saja." Kau berdehem. Terdengar kesal. Mana ada lelaki yang hanya sekedar mau menjadi pendengar. Sepertinya, lelaki terlahir lebih untuk menjadi yang didengarkan. Bukan hanya itu, tapi juga dituruti apa yang diucapkan.
"Itu karena aku sangat tertarik dengan sebingkai lukisan yang terkirim ke rumah kita, seminggu lalu," kataku lagi. Tapi aku tak bisa melihat reaksi wajahmu, kecuali sedikit gerakan di bahumu, sangaaat lembut, tapi aku melihatnya. Dan engkau benar-benar diam... mendengarkan...
"Aneh saja. Tak ada nama pengirim. Lukisan dengan nuansa astral, tapi semuanya berwarna ungu dengan gradasinya. Dan, darah yang menetes dari cincin yang ada di lukisan itu pun, ungu. Apa engkau tidak memikirkannya?"
Engkau mendengus dan menunduk, lalu mengatakan,"Untuk apa aku memikirkannya. Kukira, lukisan itu pasti dari temanmu."
"Oh... ya.... bisa jadi. Teman-teman kita banyak sekali yang menjadi pelukis. Tapi, pasti kau juga ingat bagaimana ciri lukisan teman2 kita. Ini... sangat beda. Yang ini sangat feminin."
"Sangat feminin? Apa maksudmu?"
"Itu menurutku. Warna ungu sangat jarang digunakan teman-teman pelukis yang kita berdua kenal. Kau juga tahu itu. Ungu, lebih beraura perempuan. Jadi..."
"Hm... tampaknya, kalimatmu menjurus ke sesuatu yang tak mengenakkan."
"Aku belum selesai. Jadi, butuh diskusi lukisan, agar kita memiliki daya apresiasi yang baik dan benar," kataku menutup obrolan senja itu. Tepat disaat kemuning di langit menyedot seluruh perhatianku bersamaan dengan suara adzan Maghrib.
-------
Aku berharap kau sudah tertidur. Karena ini secuil cerita yang kau minta akan mengantar lelapmu. Rupanya... matamu memandangku dengan sangat tajam...
[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H