"Itu karena aku sangat tertarik dengan sebingkai lukisan yang terkirim ke rumah kita, seminggu lalu," kataku lagi. Tapi aku tak bisa melihat reaksi wajahmu, kecuali sedikit gerakan di bahumu, sangaaat lembut, tapi aku melihatnya. Dan engkau benar-benar diam... mendengarkan...
"Aneh saja. Tak ada nama pengirim. Lukisan dengan nuansa astral, tapi semuanya berwarna ungu dengan gradasinya. Dan, darah yang menetes dari cincin yang ada di lukisan itu pun, ungu. Apa engkau tidak memikirkannya?"
Engkau mendengus dan menunduk, lalu mengatakan,"Untuk apa aku memikirkannya. Kukira, lukisan itu pasti dari temanmu."
"Oh... ya.... bisa jadi. Teman-teman kita banyak sekali yang menjadi pelukis. Tapi, pasti kau juga ingat bagaimana ciri lukisan teman2 kita. Ini... sangat beda. Yang ini sangat feminin."
"Sangat feminin? Apa maksudmu?"
"Itu menurutku. Warna ungu sangat jarang digunakan teman-teman pelukis yang kita berdua kenal. Kau juga tahu itu. Ungu, lebih beraura perempuan. Jadi..."
"Hm... tampaknya, kalimatmu menjurus ke sesuatu yang tak mengenakkan."
"Aku belum selesai. Jadi, butuh diskusi lukisan, agar kita memiliki daya apresiasi yang baik dan benar," kataku menutup obrolan senja itu. Tepat disaat kemuning di langit menyedot seluruh perhatianku bersamaan dengan suara adzan Maghrib.
-------
Aku berharap kau sudah tertidur. Karena ini secuil cerita yang kau minta akan mengantar lelapmu. Rupanya... matamu memandangku dengan sangat tajam...
[]