Pengondisian diri yang umum dan simpel dilakukan adalah membaca buku. Buku menyimpan segudang cakrawala yang siap untuk disebar ulang. Dan takkan pernah habis. Meluangkan waktu untuk membaca buku, akan memberi kesempatan bagi pikiran untuk menangkap ide-ide yang terkandung di dalamnya. Tak jarang bahkan, ide untuk menulis muncul hanya dari satu potongan kalimat yang tercantum di sana.
Bentuk terakhir dari pengondisian diri yang bisa dilakukan adalah merenung. Merenungi apa-apa yang telah dilakukan atau apa-apa yang pernah terjadi. Menoleh sejenak pada masa lalu atau berdialog dengan diri sendiri sering kali menjadi opsi yang dilakukan saat merenung. Ide-ide biasanya muncul saat proses mencerna apa yang didapat dari masa lalu dan lintasan-lintasan saat berdialog dengan diri sendiri.
Sehingga saat merasa tidak ada ide untuk menulis, bisa jadi itu hanya kurang banyak mengondisikan diri dalam menangkap ide. Menulis, hanya butuh sedikit usaha untuk menjaring ide-ide yang beterbangan bebas di luar sana.
Menjiwai Tulisan
Menulis tidak hanya mentransfer apa yang diketahui, namun juga apa yang dirasakan. Beberapa tulisan yang peruntukannya khusus, semisal perihal emosi wanita, untuk sesiapa yang sedang bingung akan sesuatu, atau tulisan yang melibatkan emosi lainnya, penjiwaan tulisan menjadi penting sehingga mereka yang membaca dapat menangkap maksud sebenarnya. Seperti sebuah pepatah mengatakan, apa yang berawal dari hati akan kembali sampai pada hati.
Menaruh jiwa pada tulisan dapat dilakukan dengan berdialog dengan orang yang pernah merasakan, mengondisikan emosi seperti yang akan ditampakkan pada tulisan, atau menuangkan pikiran dan perasaan seutuhnya pada tulisan. Berdialog dengan orang yang pernah merasakan akan menambah pengetahuan utuh tentang rasa yang akan dituangkan dalam tulisan. Mengondisikan emosi saat menulis akan memberikan makna utuh pada pembaca. Menuangkan pikiran dan perasaan seutuhnya akan memberikan tulisan yang seutuhnya pula.
Emosi yang disisipkan dan pengetahuan utuh tentang rasa akan memberikan ruh lain pada tulisan. Tulisan yang memiliki emosi akan lebih cepat sampai dan tersimpan dalam diri pembaca. Menjiwai tulisan berarti menyampaikan tulisan lewat hati.
Kontinu hingga Terkarakterisasi
Galdwel dalam bukunya “Outliers” mengatakan bahwa seseorang tidak akan mencapai derajat ahli sebelum ia melakukan apa yang ia geluti selama 10.000 jam. Begitu pun dalam hal menulis. Salah satu tujuan teknis dalam menulis adalah menemukan karakter tulisan. Hingga ketika sebuah tulisan tanpa nama dipublikasikan, orang-orang langsung dapat menebak siapa penulisnya.
Seorang penulis yang senantiasa mengasah kemampuan menulisnya akan menemukan ciri khasnya sendiri seiring berjalannya waktu. Ciri khas seperti gaya bahasa, pola penulisan, kadar pelibatan emosi, dan alur tulisan. Hingga akhirnya semua itu dikenal menjadi karakter tulisan si penulis.
Banyak penulis yang kini telah menemukan karakter tulisannya sendiri. Dari mulai penulis zaman dahulu hingga penulis masa kini. Dari mulai Buya Hamka hingga Salim A Fillah. Memang karakter tulisan bersifat teknis. Tidak lebih penting jika komparasinya makna dan maksud dari tulisannya itu sendiri. Tetapi dengan adanya karakter dalam tulisan, seseorang akan mudah mengenali dan tenggelam dalam tulisan yang ia baca. Ia pun akan mampu mengikuti alur dari tulisan yang ia baca.