Mohon tunggu...
Ahmad Muzakki
Ahmad Muzakki Mohon Tunggu... Mahasiswa dan Santri -

Santri di Ma`had Aly Situbondo PP. Salafiyah Syafi`iyyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mendiskusikan Nama “Tuhan”

13 Oktober 2015   14:58 Diperbarui: 13 Oktober 2015   16:44 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ternyata tidak sedikit nama-nama tidak lazim yang bermunculan di Nusantara setelah kemunculan nama tuhan. Ada nama yang lucu, singkat bahkan mengundang kontroversi. Nama “tuhan” ada di beberapa daerah, salah satunya di Banyuwangi.  Nama . (titik), N ditemukan di Jawa Tengah dan di daerah yang lain, ada warganya yang bernama Happy New Year dan Andi Go to Scholl. Bahkan di Palembang ada warganya yang bernama Saiton.

Nama “tuhan” merupakan yang paling mengundang kontroversi dan banyak diperbincangkan, baik oleh kalangan bawah maupun kalangan atas, mulai dari rakyat biasa sampai cendikiawan dan politisi. Bahkan Majelis Ulama Indonesia juga ikut berkomentar dan mengimbau agar pemilik nama tuhan mengubah namanya atau ditambah menjadi hamba tuhan. Namun ketika mas “tuhan” yang bertempat tinggal di Banyuwangi ini ditanya oleh wartawan Jawa Pos Radar Banyuwangi (10-9-2015) tentang respon terhadap nasehat untuk mengubah namanya, dia tetap bersikeras untuk tidak mengubahnya, dengan alasan orang akan tetap memanggil “tuhan” meski namanya telah diubah.

Seseorang berhak memiliki nama dan mempertahankannya. Namun ketika ada nama yang mengundang kegaduhan dan dianggap tidak sesuai dengan syari`at Islam, apakah lantas nama tersebut harus diubah? dan jika tidak mau apakah harus ada pemaksaan?. Oleh karena itulah, dalam edisi kali ini, TA tertarik untuk membahas aturan Islam dalam pemberian nama dan mengungkap tanggapan Islam terhadap nama ” tuhan”. Tujuan pembahasan ini bukan untuk menghakimi, memojokkan atau menyalahkan orang yang namanya “tuhan”, namun hanya ingin memberikan pencerahan kepada semua orang tua agar berhati-hati di dalam memberi nama dan memilih nama yang terbaik untuk anaknya.

Orang tua merupakan sosok yang paling berperan dan bertanggung jawab dalam pemberian nama. Pemberian nama merupakan hak seorang anak yang harus ditunaikan oleh orang tua. Berkenaan dengan masalah ini, Nabi bersabda,

حقُّ الوَلَدِ على الوالِدِ أنْ يُحَسِّنَ اسْمَهُ وَيُحَسِّنَ أدَبَهُ

“Hak anak yang harus ditunaikan orang tua diantaranya adalah memilihkan nama yang baik dan memperbaiki budi pekertinya.”[1]

Orang tua memiliki kewajiban untuk memberikan nama yang baik dan mengandung harapan kebaikan. Nama mengandung do`a dan sangat berarti dalam kehidupan anak. Nama yang baik dapat memberikan optimisme dan semangat, sedangkan nama yang jelek dapat menyebabkan gangguan psikologis dan mengganggu mental seorang anak. Oleh karena itu, orang tua yang memberikan nama baik akan mendapatkan imbalan pahala, sedangkan orang tua yang memberikan nama yang tidak baik sehingga menyebabkan anak minder dan tidak nyaman, maka akan mendapatkan dosa.[2] Oleh karena itu, tidak heran jika Rasulullah pernah merubah nama yang jelek menjadi baik, sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut ini,

إكمال المعلم شرح صحيح مسلم - للقاضي عياض - (ج 7 / ص 8(

عَنِ ابْنِ عُمَرَ ؛ أَنَ ابْنَةً لعُمَرَ كَانَتْ يُقَالَ لَهَا : عَاصيَةُ . فَسَمَّاهَا رَسُولُ اللّهِ ( صلى الله عليه وسلم ) جَمِيلَة

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar,Sesungguhnya putri umar namanya adalah ‘Ashiyah , lalu Rasulullah SAW mengubahnya menjadi Jamilah.[3]

عَاصيَةُ jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia bermakna wanita yang melakukan kemaksiatan. Nama ini oleh Rasulullah diubah menjadi جَمِيلَة yang bermakna wanita cantik. Terlihat bahwa  nama yang bermakna jelek dan buruk harus dihindari dan apabila terlanjur, maka seharusnya diubah menjadi nama yang baik.

Nabi juga pernah mengubah nama dua wanita yang namanya Barroh menjadi Zainab yaitu Zainab binti Abi Salamah dan Zainab binti Jahsyin. Selain itu, ada juga nama Barroh oleh Rasulullah diubah menjadi Juwairiyah. Selain nama-nama tersebut, masih ada beberapa nama sahabat yang diubah oleh Rasulullah menjadi nama yang lebih baik dan sesuai dengan syari`at Islam.

Nama yang baik menjadi penting karena akan menjadi identitas bagi seseorang, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Manusia pada hari kiamat akan dipanggil sesuai namanya dan nama orang tuanya. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah,

الأذكار النووية لمحي الدين النووي - (ج 2 / ص 111)

عن أبي الدرداء رضي الله عنه قال : قال رسول الله (صلى الله عليه وسلم) : " إنكم تدعون يوم القيامة بأسمائكم وأسماء آبائكم فأحسنوا أسماءكم "

Diriwayatkan dari Abi Darda` RA. Bahwa Rasulullah SAW bersabda:” Sesungguhnya kalian semua pada hari kiamat akan dipanggil  dengan nama kalian dan nama bapak-bapak kalian, oleh karena itulah,maka perbaguslah nama-nama kalian.[4]

Ketika nama telah mengandung arti yang baik, maka haram memanggilnya dengan julukan yang tidak disukai.[5] Hal ini kadang terjadi dalam pergaulan sehari-hari. Bukankah membuat julukan yang tidak disukai akan menodai indahnya persaudaraan dan membuat hati tersakiti. Oleh karena itulah, panggillah seseorang sesuai namanya, jika ingin memberi julukan, harus julukan yang baik dan disukai.

Selanjutnya, dalam menilai sebuah nama, terlepas dari perbedaan pendapat, Ulama telah melakukan ijtihad terhadap Hadits-Hadits Nabi berkenaan dengan nama, yang pada kesimpulannya mereka mengklasifikasikannya sebagai berikut,[6]

  1. Nama-nama yang disunnahkan, yaitu nama-nama yang mengandung arti baik seperti Abdullah, Abdur Rahman, Abdul Aziz, nama عَبْدُ yang disandarkan kepada asmaul husna, Muhammad dan Ahmad.
  2. Nama-nama yang dimakruhkan, yaitu nama-nama yang memiliki arti jelek dan terlalu berlebihan, seperti Syaiton (setan), Himar (keledai), Sayyidun Nas (pemimpinnya manusia), Dholim (orang yang dholim).
  3. Nama-nama yang diharamkan, yaitu nama-nama yang memberi kesan kesyirikan, seperti عَبْدُ yang disandarkan kepada selain Allah dan asmaul husna misalnya Abdul Ka`bah (hambanya ka`bah), nama-nama yang khusus bagi Allah, seperti al-Kholiq (pencipta) dan nama-nama yang hanya layak bagi Allah, seperti Malikul Amlak (Rajanya beberapa raja), Hakimul Hukkam (Hakimnya beberapa hakim).
  4. Nama-nama yang diperbolehkan (mubah), adalah nama-nama yang tidak ada larangan dari Islam untuk menggunakannya.

Dan di sini perlu ditegaskan bahwa nama tidak harus berbahasa Arab. Silahkan menggunakan bahasa apa saja yang penting nama itu mengandung arti yang baik dan tidak masuk kategori nama yang diharamkan atau dimakruhkan. Dalam kaitannya dengan nama-nama yang dimakruhkan atau diharamkan, ulama memberikan aturan tentang pengubahan nama sebagai berikut,[7]

  1. Nama-nama yang dimakruhkan, sunnah untuk diubah
  2. Nama-nama yang diharamkan, wajib diubah
  3. Nama-nama yang tidak makruh dan tidak haram boleh diubah menjadi nama yang lebih baik

Lantas bagaimanakah dengan nama “tuhan”?

          Di alam jagat raya ini, manusia memiliki keyakinan dan agama yang berbeda-beda, dengan tuhan yang berbeda pula. Namun menurut keyakinan umat Islam, tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Hanya Allah yang berhak disebut Tuhan.  Dengan demikian nama Tuhan merupakan nama yang khusus bagi Allah dan tidak boleh digunakan oleh selain Allah.

          Oleh karena itulah, orang tua harus berhati-hati memberi nama. Apabila dia tidak tahu tentang arti sebuah nama, hendaklah ia bertanya kepada agamawan, ulama, kiai dan cendikiawan. Apabila nama yang diberikan oleh orang tua ternyata bertentangan dengan syari`at Islam seperti nama “tuhan”, maka orang tua wajib merubah nama anaknya. Apabila orang tuanya sudah meninggal, maka nama yang bertentangan tersebut wajib diubahnya sendiri. Dan apabila tidak mau merubahnya, maka hendaknya ditambah nama yang sekiranya dapat menghilangkan kesan kesyirikan seperti diubah menjadi Hamba Tuhan, Makhluk Tuhan, Ciptaan Tuhan dan sebagainya. Bagi masyarakat sebaiknya tidak memanggilnya “tuhan”, tapi panggillah dengan sebutan yang tidak memberi kesan kesyirikan seperti hamba, makhluk, pak “Tu” atau pak “Han”.

Oleh : Ahmad Muzakki (Redaktur Pelaksana Buletin Tanwirul Afkar Ma`had Aly  PP. Salafiyah Syafi`iyyah Sukorejo Situbondo)

           

 

 

[1] Jalaluddin al-Suyuthi, Jami` al-Shoghir, Juz 2, hal 79.

[2] Syarah Riyadussolihin, hal 264, Juz 1

[3] Qodli `Iyad, Ikmalul Mu`allim Syarah Shohih Muslim,Juz 7, Hal. 8

[4] Muhyiddin an-Nawawi, Adzkar al-Nawawi, juz 2 hal 111

[5] Dr. Wahbah az-Zuhaily, Fiqh islam Wa Adillatuhu, Maktabah Syamilah, Juz 4, hal 291

[6] Ibrahim al-Bajuri, Hasyiyah al-Bajuri, Jakarta, Darul Kutub Islamiyah, hal 601,

[7] Mausu`ah Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, Hal 337, Juz 11

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun