PERSAINGAN sengit antar negara di dunia sedang terjadi. Negara dengan sumber daya manusia (SDM) yang lebih baik akan menjadi pemenang. Negara dengan SDM rendah masih bisa bertahan hidup dengan memanfaatkan sumber daya alam (SDA)-nya. Mereka suatu saat nanti akan tersadarkan bahwa ketika SDAnya habis, maka tidak ada cara lain untuk bertahan hidup dengan berhutang, atau menggadaikan negara kepada negara lain. Karena SDA akan habis, untuk menghindari "penjualan" negara, maka peningkatan SDM adalah solusinya. Negara yang hebat saat ini adalah, disamping SDM nya sudah ditata dengan rapih, ia juga memiliki limpahan SDA di dalamnya.
Tulisan ini ingin mencoba membuka paradigma guru tentang bagaimana sebuah negara yang sedang bersaing di abad 21. Tujuannya, ingin mencoba membawa kesadaran guru untuk move on dari paradigma lama. Hanya kesiapan guru ndalam perubahan mind set inilah yang mampu merubah sebuah bangsa. Kesiapan (readiness) guru inilah yang merupakan start up dalam memastikan negara berhasil dalam abad 21. Kesiapan harus diawali dengan mengetahui, memahami, dan mengamalkan keterampilan-keterampilan abad 21 yang ditularkan kepada siswa sebagai generasi bangsa selanjutnya.
Guru Masa Lalu
Inilah gambaran guru dengan paradigma masa lalu. Pada abad 20 (antara awal 1901 -- 2000) adalah masa dimana ilmu pengetahuan diidentifikasi sebagai sebuah "konsep" pengetahuan. Ilmu yang menjadi lem perekat interaksi guru-siswa didefinisikan sebagai pengetahuan yang harus dikuasi oleh individu. Hasil pendidikan diarahkan untuk menjadi lembaga pentransfer ilmu konseptual. Para guru bertindak sebagai "operator" untuk mentransfer (memindahkan) ilmu yang ada di kepalanya atau di buku paketnya ke kepala anak atau buku tulisnya.
Definisi "pintar" adalah manakala siswa dianggap mampu menjawab semua pertanyaan berbasis ilmu pengetahuan. Instrumen penting dalam abad ini adalah kecepatan prosesor anak (otak) dan besarnya ruang memori untuk meyimpan ilmu pengetahuan. Semakin siswa memiliki kecepatan otak dengan nama IQ dalam mengolah informasi konsep pengetahuan, maka semakin dikatakan pintar. Semakin ia mampu untuk menyipan informasi dalam memorinya maka ia dipandang sebagai orang pintar. Orang pintar adalah orang yang diberkati dengan otak dan memorinya.
Jadi, orang berpendidikan adalah orang yang "tahu". Tahu konsep pengetahuan yang diuji melalui test tulis atau lisan sebagai instrumen utamanya. Jika ia mampu menyimpan ilmu pengetahuan dalam memorinya, kemudian dapat meng-encode-pengetahuan itu sebagai respon dalam stimulus pertanyaan, maka ia merupakan orang hebat.
Hal inilah yang membuat abad 20 adalah abad ilmu pengetahuan yang menyederhanakan pendidikan dengan "mengingat", "memahami", dan "mengamalkan" konsep pengetahuan. Tidak heran pendidikan ini menjadi pendidikan yang menghasilkan NATO (no action talk only). SDM dengan desain model ini mampu merajut kata, membuat konsep, dan mencoba konsep itu namun tidak jarang ilmunya hanya sampai pada konsep dan tidak menjadi sebuah hal yang bermanfaat secara praktis dalam kehidupan. Keterampilan abad ini hanya sampai kepada lower order thinking skills (LOTS, Anderson).
Dampak dalam pendidikan model ini adalah mendesain manusia yang menguasai ilmu pengetahuan sebagai konsep abstrak dan tidak mencoba "membumikan" konsep itu dalam sebuah produk yang praktis dalam kehidupan. Mereka akan hebat dalam menjawab berbagai macam ujian konsep pengetahuan, namun lemah dalam menjawab ujian kehidupan nyata. Mereka hebat dalam berargumentasi namun mereka tidak bisa membuktikan argumentasi itu menjadi sebuah kemanfaatan praktis dalam kehidupan. Itulah abad 20.
Lalu bagaimana dengan guru saat itu? Guru saat itu adalah mereka yang menjadi personifikasi dari paradigma abad 20. Mereka adalah guru yang menjadi "teacher" dengan tugas pokok transfer of knowledge. Guru yang menganggap konsep pengetahuan adalah indikator keberhasilan pendidikan. Guru yang menganggap test tulis adalah cara "suci" dalam menentukan keberhasilan pendidikan. Guru dengan mengklaim dirinya adalah sebagai satu-satunya sumber belajar, ahli dalam ilmu, menara gading, dan menjadi "raja" di ruang kelasnya. Apakah kesuksesan belajar ala abad 20 selalu linier dengan kesuksesan hidup?
Guru Masa Kini
Posisi guru saat ini adalah posisi di abad 21 (antara tahun 2001 -- 2100). Abad ini masih panjang durasinya, ya sekitar 83 tahun lagi. Kecenderungan abad ini memiliki perbedaan yang kontras dengan abad sebelumnya. Paling tidak ada dua kontradiksi dalam abad ini yakni: (1) LOTS vs HOTS dan (2) kompetitif vs kolaboratif. Masih banyak lagi yang kontras, tapi hemat saya ini bisa mewakili dalam pendidikan.
Seperti dalam sub bab sebelumnya, bahwa pendidikan abad 19 menggunakan LOTS. Lower order thinking atau keterampilan berpikir tingkat rendah yang diwakili oleh "mengingat-memahami-dan mengamalkan" dianggap sebagai hal yang perlu ditingkatkan di abad 21. LOTS adalah salah satu dasar dalam menggapai pengetahuan, namun LOTS adalah hal yang tidak bisa menjadi instrumen dalam meningkatkan SDM. Mereka akan hanya bisa menghapal, dan memahami namun mereka tidak bisa mencipatkan sebuah produk yang menjadi "hasil" dari ilmu pengetahuannya.
Meningkatkan LOTS menjadi HOTS (higher order thinking skills, keterampilan berpikir tingkat tinggi) adalah bagian terpenting dalam pendidikan di abad 21. Keterampilan ini adalah kelanjutan dari LOTS dimana instrumen pentingnya dilalui dengan menggunanakan "menanalisis-mengevaluasi- dan mencipta". Tiga kata inilah yang seharusnya dipraktikan di ruang kelas guru-guru masa kini.
HOTS tidak bisa tanpa LOTS, tapi guru masa kini harus percaya diri bahwa siswanya bisa dibawa dengan menggunakan HOTS sebagai peningkatan kemampuannya. Bila LOTS lebih berorientasi kepada konsep pengetahuan, maka HOT beyond dari itu. HOT mengembangkan konsep pengetahuan itu menjadi sebuah keterampilan praktis yang bermanfaat bagi kehidupan. Dalam abad 21, konsep pengetahuan yang menjadi basis pengajaran guru masa lalu diposisiskan sebagai media untuk merubah sikap siswa dalam menggapai pengetahuan. Konsep pengetahuan tidak terlalu penting, yang penting itu adalah bagaimana siswa memiliki pengembangan "sikap pengetahuan" yang didapatkan melalui konsep pengetahuan.
Menganalisis-mengevaluasi-mencipta adalah tiga kata untuk mendesain siswa memiliki perilaku "ilmuwan". Konsep ilmu nya tidak penting karena ilmu pengetahuan selalu berubah, namun sikap terhadap pengembangan ilmu pengetahuan itu sangat penting. Siswa dengan menggunakan HOTS akan mampu bertahan hidup dalam konsep ilmu pengetahuan apapun yang dihadapinya. Ia akan mampu memilki sikap pnegetahuan yang bisa diaplikasikan kepada semua ilmu, apapun ilmu yang didapatkannya.
Analogi yang sering saya dan orang tua saya lakukan adalah anak yang diberi ikan dan anak yang diberi kail. Bila kita menjadi orang tua, maka silahkan prediksi, anak yang mana yang bisa bertahan hidup lebih baik, apakah yang langsung diberi ikan atau diberi kail? Saya meyakini, orang tua akan menjawab anak yang kedua. Dengan diberi kail, ia akan belajar bukan hanya menangkap dan memakan ikan, tapi bagaimana memecahkan masalah tentang umpan, tentang kolam, atau pelajaran lain sebagai pembelajaran ia dalam kehidupan. Itulah bedanya abad 20 dan 21.
Abad 21 dalam ruang kelas adalah abad dimana konsep pengetahuan bukan yang paling penting, namun bagaimana ia memperlakukan ilmu pengetahuan sebagai sikap-diri untuk mempersiapkan masa dewasanya. Dengan menggunakan HOTS, maka kata kunci yang harus dipegang adalah adalah siswa yang inovatif, kreatif dan produktif.
HOT dengan kreatif adalah siswa yang mampu menciptakan sesuatu yang baru. Tentu saja kreatifitas itu sesuai dengan perkembangan kognisi siswanya. Yang paling penting adalah bagaimana siswa memiliki prilaku kreatif harus guru tanamkan sejak dini. Kreatifitas keci akan menjadi fondasi untuk menciptkan sesuatu yang besar ketika siswa itu dewasa.
HOTS dengan inovatif adalah menjadikan siswa ber-ATM. Amati, Tiru dan Modifikasi adalah cara siswa menjadi inovasi dengan cara mengembangkan sesuatu menjadi memiliki nilai lebih, baik dari sisi ekonomis, seni atau lainnya. Inovasi inilah yang akan menjadi fondasi anak dalam meraih kesuksesan masa depan anak.
HOTS dengan produktif adalah siswa didesain sebagai individu yang senang membuat produk. Mereka tidak henti-henti mengembangkan produk untuk berkreasi dan berinovasi sebagai jati dirinya. Ada banyak hal yang bisa dilakukan siswa di ruang kelas sesuai dengan bakat, kebutuhan, kesenangan, dan hobinya yang bisa diendorse oleh guru menjadi sebuah produk. Para guru jangan berpikir bahwa produk itu harus berteknologi tinggi, namun produk itu harus sesuai dengan perkembangan siswanya. Bisa teknologi rendah bahkan bila mampu bisa menggunakan teknologi tinggi. Yang terpenting adalah guru mampu untuk "menginspirasi" siswa dalam menciptakan produk.
Lalu bagaimana bila guru belum bisa menginspirasi? Inilah yang menjadi masalah penting dalam pendidikan dengan menggunakan HOTS. Siswa yang memiliki kecenderungan "meniru" guru akan mendapatkan masalah yang rumit manakala gurunya tidak memiliki keterampilan untuk menciptakan sebuah produk. Kualifikasi guru dalam menciptakan produk adalah hal mutlak yang menjadi instrumen utama dalam implementasi HOTS. Dalam konteks ini, pemerintah harus melatih guru dalam keterampilan produk-produk yang mungkin bisa dilaksanakan di ruang kelas sesuai tingkatan sekolah siswanya.
Dengan bantuan TIK yang berjibun di internet, cara memproduk sesuatu dalam HOTS bisa sangat membantu guru dalam menginspirasi. Guru yang tidak gaptek (gagap teknologi) atau Gapsek (gagap sekali) adalah cara untuk meningkatkan kualifikasi guru dalam implementsi HOTS di abad 21.
Untuk kolaboratif vs kompetitif, bisa membaca tulisan selanjutnya.{}
Bumisyafikri, menjelang pelatihan guru. 26/08/17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H