Bagaimana dengan Indonesia. Founding Father kita telah sepakat untuk menjadi negara ini sebagai negara Ketuhanan. "Ketuhanan" yang resmi secara institusi dititipkan kepada Kementerian Agama. Lembaga ini adalah sebuah lembaga yang lahir dari konvensasi negara terhadap perjuangan pesantren dalam peranannya membela dan memerdekakan Indonesia. Lembaga inilah yang menjadi payung besar dalam kegiatan keagamaan dan keberagamaan. Jadi, salah sekali bila Indonesia dituduh sebagai negara sekuler secara de Jure. Mungkin bila itu beda, seperti yang jurnalis Singapura tuduhkan, Indonesia is a secular country adalah cermianan secara de facto.
Karena Indonesia dilahirkan sebagai negara Ketuhanan, maka Indonesia perlu mewadahi lembaga yang mengajarkan dan membina keagamaan masyarakat. Madin adalah salah satunya. Bila Madin "dibunuh" oleh negara secara sistemik, maka sesungguhnaya pemegang kuasa negara telah menghianati negara. Bisa jadi itu inkonstitusional. Namun, dimana kesalahannya? Tidak ada tafsir yang tunggal akan hal ini. Pembuktian bahwa FDS bisa membunuh Madin membutuhkan waktu yang panjang.
FDS dan Sistemnya
FDS adalah sebuah pola pendidikan. Ada banyak model yang bisa mewakili sebuah sekolah disebut FDS. Ia bisa dilahirkan dari rahim pesantren yang biasa menyebutnya dengan Sekolah Plus (SP) atau Sekolah satu Atap. Ia juga bisa lahir dari rahim Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT) yang berjamur dengan nama Sekolah Islam Terpadu (IT). Kedua pola ini hampir dipastikan menggunakan waktu lebih dari delapan jam untuk belajar di sekolah.
Waktu yang panjang yang digunakan dalam FDS model ini adalah sesungguhnya mengintegrasikan sekolah formal dengan pengetahuan umum sebagai core nya dengan sekolah agama (Madin) yang memiliki core pengetahuan keagamaan. Untuk membiaskan pengintegrasiannya, maka dibuat sebuah entitas baru bernama IT atau SP. Isinya sama, namun yang membedakan adalah kelembagaan. IT/SP didesain dalam satu tempat dengan model manajemen sekolah yang sama sedangkan model lama adalah dengan desain model kelembagaan yang berbeda. Yang satu formal-pemerintah, yang lainnya informal-swadaya.
Bila melihat keefektifan waktu dan bisnis, IT/SP memiliki keunggulan dibanding dengan Sekolah-Madin. Dengan IT/SP sekolah bisa memiliki bisnis katering dan dimensi ekonomi lainnya yang lebih terorganisir. Maka, jangan heran bila sekolah macam ini mahal dan tidak cocok di pedesaan. Masyarakat yang memilih model ini adalah mereka kaum pekerja yang tidak terlalu memiliki banyak waktu untuk mengasuh anak. Sumber daya manusia di lembaga model ini pun lebih baik dari Madin yang kebanyakan lulusan pesantren yang tak "sekolah".
Berbeda dengan IT/SP, Sekolah-Madin memiliki ruang sosiologis yang luas. Secara manajemen, pendidikan dibagi menjadi dua; pemerintah dan swadaya masyarakat. Persekolahan yang mengikuti aturan kurikulum pemerintah menjadi gerbang untuk memasukan pengetahuan duniawi kepada anak didik. Permadinan yang dikelola oleh swadaya (terutama kaum pesantren dan derivasinya) menjadi gerbang untuk mewariskan keagamaan. Secara teknis, waktu yang dihabiskan seimbang dan memiliki daya tawar yang saling menguntungkan. Paduan keduanya sangat kental dengan dimensi kehidupan nyata daripada artifisial seperti yang ditunjukan IT/SP.
Pertanyaannya kemudian, kenapa pemerintah melalui FDS mau mengikuti model IT/SP yang cocok perkotaan dan mengabaikan model Sekolah-Madin yang sudah lama berkembang di Indonesia. Dalam konteks inovasi pendidikan, ini adalah baik dan sangat kreatif. Namun bila ini tidak dikonstruk dengan hati-hati dan tidak menggunakan pola pilot project, bisa jadi akan menjadi bencana nasional. Ya, jadi bencana itu manakala FDS itu tidak berhasil mengintegrasikan Pengetahuan Umum-Agama, namun akan jadi anugerah bila itu berhasil. Tapi bukankah ini akan membunuh Madin secara sistemik?
Madin, FDS dan Sekularisme
Relasi ketiganya mungkin semacam "tuduhan". Tapi analisis ini harus dilakukan agar kita jernih melihat kemungkinan-kemungkinan dampak penerapan FDS di negeri ini. Paling tidak ada tiga analisa pokok yang menghubungkan ketiganya.
Pertama penjelasan menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang menjelaskan bahwa Permendikbud no 23 Tahun 2017 itu bukan FDS dan hanya berdasar dalam pertimbangan jam kerja Aparatur Negeri Sipil di Kemendikbud. Lima hari sekolah adalah yang paling logis dalam implementasinya. Namun dalam perjalannya, sistem yang dibangun adalah mirif dengan FDS yang sudah ada. Namun, ada yang berbeda dalam implmentasinya untuk berbagai daerah, ada lima hari sekolah yang murni mengajarkan pengetahuan umum sebagaimana yang biasa dilakukan oleh sekolah enam hari, namun pelajaran di hari Sabtu disampaikan di jam-jam lima hari tersebut. Secara konsep yang sering diungkapkan Menteri, hal ini salah karena Bapak menteri menginginkan adanya integrasi komprehensif antara agama dan umum dalam kerangka penguatan karakter dalam FDS. Entahlah.