Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mental "Ganti Menteri Ganti Kebijakan" di Negeri Kita

16 Juni 2017   07:31 Diperbarui: 16 Juni 2017   20:51 6629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: Radar Pekalongan

Sesungguhnya, Undang-undang yang dirumuskan oleh parlemen dan senator di MPR telah rumuskan acuan blue print negara kita, namun dalam perjalannya sering ditemukan penyimpangan yang merugikan marwah undang-undang itu. dalam konteks korupsi yang merajalela, pembatasan blue print yang disenyawakan dengan undang-undang itu menjadi bancakan “the power of Gacrit” para pembuat undang-undang. Ada main mata antara eksekutif dan legislatif.

Kedua, ada ketidak percayaan antar menteri baru dengan menteri lama. Kasus mendikbud Anies saat menyetop sementara implementasi K-13 dan berbalik ke KTSP menunjukan beliau tidak percaya atas K-13 nya Muhammad Nuh. Kasus perubahan karakter bangsa yang disusun dengan 12 karakter bangsa semacam: disiplin, kerja keras, gotong royong, tanggung jawab dan seterusnya yang ditulis dalam permendikbud terdahulu terpaksa dianulir oleh mendikbud Muhadjir dengan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dengan fokus lima karakter; (1) nasionalis, (2) relijius, (3) gotong royong, (4) kerja keras dan (5) integritas.

Walaupun menteri baru tidak merubah kurikulum 2013 (K-13) dengan kurikulum baru saat ini, tapi perubahan kebijakan hari sekolah dari enam hari menjadi lima hari adalah perubahan mendasar dari sebuah sistem pendidikan. Pro-kontra dari kebijakan ini lebih heboh dari pada perubahan kurikulum. Ada pihak yang merasa dirugikan dalam perubahan ini.

Ketiga, terkadang perubahan itu tidak substantif. Kita memaklumi bahwa jejak menteri harus dicatat sebagai sejarah perjalanan bangsa. Instrumen yang dapat diingat adalah perubahan kebijakan, baik itu namanya maupun isinya. Adakalanya, perubahan itu hanya dilakukan dengan merubah nama saja dan istilah di dalamnya tanpa merubah substansi isinya. Saya melihat perubahan KBK ke KTSP di lapangan adalah contoh paling pas tentang ini diantara contoh yang lainnya.

Hal yang harus dipikirkan ulang oleh mendikbud adalah bagaimana dampak yang luas dari kebijakan surface (permukaan) ini terhadap implemtator yang kadang tidak paham atas perubahan itu walaupun hanya permukaan. Mereka selalu menganggap bahwa perubahan menteri sekelasa Permen dan Peraturan Pemerintah memiliki perubahan yang deep (mendalam). Para implementator itu membutuhkan sosialisasi dan desiminasi sehingga mereka membutuhkan “bahan bakar” untuk menghayati dan mengamalkannya.

Keempat, mental “ganti menteri ganti kebijakan” akan membuat masyarakat apatis dan pesimis terhadap sebuah kebijakan. Ketika ada perubahan kurikulum, misalnya, mereka selalu memojokan menteri dengan memunculkan akronim-akronim baru. Misal KBK disebut Kurikulum Baheula Keneh (KBK, kurikulum masih yang dahulu), KTSP dipanjangkan menjadi “Kata Siape” K-13 yang diakronimkan menjadi Kurtilas bermakna Kurikulum Tilas (kurikulum bekas). Dulu CBSA pun diakronimkan menjadi Cul Budak Sina Anteung (CBSA, meninggalkan anak dibiarkan biar tenang). Inilah ekspresi faktual yang hadir di masyarakat dan bisa jadi apatisme akut atas mental ini.

Bagi kita yang sangat paham arti sebuah perubahan (dan perbaikan) akan legowo dengan semua upaya ini. Upaya yang sudah dipikirkan matang-matang adalah diyakini sebagai instrumen pembaik bangsa. Alasan-alasan logis yang dikemukan pada saat sosialisasi sangat berterima dan mungkin tidak mampu tertolakan. Namun, itu kita yang mengerti. Kita yang bergelut di dunia akademik yang teoritik-menara gading.

Ada banyak terdampak yang menangis senagis-nangisnya atas kebijakan yang super teoritis ini. Mereka pelaku yang menyandarkan pengalaman praktis yang kadang menolak teori itu. mereka kebingungan yang sangat bila sosialisasi itu setengah-setengah, apalagi kalau tidak. Mereka merasa tertindas dengan barunya aturan tanpa melihat asa, rasa, cipta dan perjuangan yang mereka lakukan setengah mati. Mereka Cuma bisa melawan dengan kata-kata, itu pun suaranya direndahkan demi tak terpotongnya tunjangan profesi. {}

Kasihanilah mereka.
Bumisyafikri, 16/06/17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun