Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Analisis Kritis terhadap Permendikbud Hari Sekolah

15 Juni 2017   07:23 Diperbarui: 15 Juni 2017   07:30 5538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika LHS ini menjadi 5 hari dan GMP berbarengan masuk sekolah, maka sekolah akan sesak dengan guru. Bila saja sarana kantor guru memadai dan fasilitas gurunya sangat menunjang, bisa jadi ini merupakan perubahan besar-besaran tentang performance guru di sekolah. Mereka akan banyak berdiskusi di sela-sela mengajar dan mereka pun akan saling berinteraksi memperbaiki kualitas masing-masing. Namun bila sebaliknya, maka akan ada waktu yang kontra produktif bagi guru. Bila saja paradigma lama terus dilakukan, maka guru akan finger print ke sekolah sebagai kehadiran dan kemudian meninggalkan sekolah karena tidak ada jadwal mengajar. Mereka bisa melupakan fungsi gurunya (yang beberapa kali ditekankan dalam permendikbud ini) yakni membimbing, mengarahkan, melatih, mengukur dan mengevaluasi.

Menurut saya, bila permendikbud ini diawali dengan landasan dasar jam kerja ASN, maka ini tidak adil. 40 jam kerja ASN dipaksakan untuk melakukan perubahan sistem yang sudah tertata rapih adalah hal yang kurang dewasa, toh mereka sudah melakukan 40 jam di sekolah pada sistem yang berjalan. Sekolah itu tentang siswa bukan tentang guru. dimensi siswa harus dominan dalam landasan merubah sistemnya, bukan karena gurunya. Bila siswa itu beragam dari berbagai sudut semisal kota-desa, dasar-menengah, akademik-kejuruan, kebutuhan-bakat, maka tidak akan bisa dipukul rata dalam memandangnya. Kita bisa memukul rata jam kerja guru, namun kita tak bisa memukul rata siswa. Jadi sekolah itu milik siapa? Guru atau siswa?

Kedua, kegiatan belajar siswa dalam LHS. Disebutkan bahwa 8 jam ala FDS dan 40 jam sepekan akan dilaksanakan intra kurikuler, kokurikuler dan ekstra kurikuler. Intra dan kokurikuler sangat erat hubungannya dengan kurikulum yang dilaksanakan di sekolah, bedanya dalam model pembelajarannya saja antara pembelajaran tatap muka dan penguatan tatap muka, sedangkan ekstra kurikuler dapat beraneka ragam kegiatan, baik karya ilmiah, krida, olah bakat/minat dan keagamaan.

Dalam konteks pendidikan menengah di SMA ataupun SMK, tiga kegiatan ini sudah dilaksanakan sebelum pemendikbud ini lahir. Karena pendidikan menengah ini sudah hampir putus dengan MD, maka melalui program “pengembangan diri” di sekolah, saat sepulang kegiatan intra dan kokurikuler, ekstra kurikuler dilakukan secara terstruktur di sekolah. Jadi tidak ada yang baru dalam konteks pendidikan menengah.

Mungkin ini menjadi asing bagi pendidikan dasar (SD dan SMP). Biasanya mereka pulang antara jam 12 (SD kelas atas) dan jam 13 (SMP) mereka melanjutkan kegiatan di lingkungannya. yang paling banyak dilakukan di masyarakat pedalaman dan kota-kota kecil di Indonesia adalah masuk ke MD. Mungkin hal ini kasuistik di kota besar macam Jakarta, ada yang masih memegang teguh MD ada juga yang telah menggantinya dengan bimbel atau les dengan gurunya atau lembaga lain. Ini sangat bervariatif.

Mungkin inilah pangkal dari masalah permendikbud ini yang banyak dikritik berbagai kalangan terutama aktivis pendidikan Islam. SD dan SMP sebagai input MD di take over oleh sekolah, dimana hanya menyediakan opsi keagamaan berbagi dengan kegiatan lainnya semacam krida, karya ilmiah, dan olah bakat/minat. Awalanya 6 hari mereka dididik dengan agama yang 100% untuk mengolah jiwa keagamaan mereka dan tentu saja penguatan identitas keagamaan mereka, hari ini “disingkirkan” secara terstruktur oleh sekolah dengan kegiatan lainnya. Bila saja kita adil dalam permendikbud itu, maka dalam ekstra kurikuler itu 25% karya ilmiah, 25% krida, 25% olah bakat/minat dan 25% keagamaan. Jadi MD kehilangan 75% haknya untuk mendidik. Itu kalau adil.

Bila saja MD dipanggil ke sekolah, maka kemanakan eksistensi MD sebagai lemabaga pendidikan yang mandiri? Bila saja pihak siswa yang datang ke MD, maka dimana transportasinya dan ada tidak anggarannya? Kalau ada atau ditangguhkan, berapa lama waktu yang dibuang untuk ke MD dan pulang ke rumah dari jarak ke sekolah. Ini sangat membutuhkan pemikiran panjang dan kontra produktif. Untuk ulasan yang mendalam bisa dilihat di tulisan lalu “Peperangan Sengit di Medan FDS”

Penguatan karakter yang menjadi pondasi kegiatan intra-ko-dan ekstra kurikuler yang dipromosikan dalam permendikbud ini adalah sesuatu yang sudah ada. Relijius, nasionalis, integritas gotong royong, dan kerja keras yang diprioritaskan oleh Mendikbud (walau tidak disuratkan dalam permennya) adalah sesuatu yang baik dan harus dibagi-bagi kegiatannya. Bisa jadi karakter nasionalis, integritas dan kerja keras dititipkan di sekolah dan karkater relijius-gotong royong dititipkan di MD (untuk kasus Islam). Yang terpenting ada kolaborasi antar lembaga yang serius. Bila alasan utamanya untuk menghindari terorisme, apakah Mendikbud sekerdil itu menuduh MD yang 7000an dan 7juta santrinya?

Ketiga, pelaksanaan LHS diimplementasikan pada tahun akademik 2017/2018. Permendikbud ini dilahirkan dari lembaga dengan logo “Tut Wuri Handayani” ini pada Juni 2017. Bulan ini sangat berdekatan dengan Juli 2017 sebagai awal tahun ajaran 2017/2018. Bila pengetahuan SD kita sama, hitungan harinya tidak sampai kepada 100 hari. Apakah ini rasional? Atau kalau saya boleh berprasangka, ada apa di balik semua kebijakan ini? Apakah benar mau membunuh lembaga pendidikan di luar persekolahan? Saya tidak menemukan jawaban dengan logika yang sehat.

Jawaban sementara dalam permendikbud itu adalah permen ini dilaksanakan bagi sekolah yang siap dan secara bertahap akan dilaksanakan secara nasional dan integratif. Saya melihat kegagalan kurikulum 2013 (K-13) yang didesain tahun 2012 selama kurang lebih 6 bulan persiapan dan dipaksa diimplementasikan di Juli 2013 di sekolah project pilot bisa menjadi contoh pas. Tarik ulur K-13 dalam kesiapannya belum juga selesai pada tahun ini. Sudah 4 tahun kita tarik ulur K-13, dan sampai saat ini masih dalam tahap sosialisasi. Apakah kebijakan ini (LHS) juga akan sama nasibnya dengan K-13. Kalau iya, kita benar-benar masuk jurang yang sama.

Dengan menggunakan terminologi bagi sekolah yang siap, maka saya menerka ini untuk menutupi ketidak mampuan negara dalam mengimplementasikan idenya secara menyeluruh. Tidak ada keadilah nasional bila terminologi ini disampaikan dalam sakralitas permendikbud yang cakupannya nasional. Seharusnya, project pilot sekolah dengan segala kematangan sistemnya harus diuji publikan dahulu, agar sistem LHS ini tidak konfrontatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun