Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Analisis Kritis terhadap Permendikbud Hari Sekolah

15 Juni 2017   07:23 Diperbarui: 15 Juni 2017   07:30 5538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebijakan kontreversial Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Medikbud) yang sedang hangat dibicarakan di seantero negeri adalah tentang Lima Hari Sekolah (LHS). Kebijakan ini lahir dengan diimplementasikannya Permendikbud No. 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah. Di sebut kontroversial karena banyak pelaku pendidikan yang kurang setuju dengan kebijakan ini, walaupu kebanyakan aktor pendidikan wait and see terhadap implementasi permendikbud ini.

Yang paling getol menyuarakan penolakan adalah aktivis Nahdlatul Ulama, para pelaku Madrasah Diniah (MD) baik MDA atau DTA, Taman Pendidikan Qur’an, Sekolah dalam naungan pesantren dan para pemerhati pendidikan. Salah satu guru besar Pendidikan mengatakan kepada kami dalam group WA para ahli kurikulum, “Tampaknya kebijakan kita; ngomong duluan setelah itu mikir”.

Seorang kawan yang protagonis dan guru Besar keislaman UIN Jakarta dalam postingan di FB mengatakan kurang lebih “kaji dulu permendikbud No. 23 baru bisa ngomong, atau mengkritiknya.” Dalam konteks ini saya sangat setuju sehingga saya harus mereview ulang tulisan-tulisan awal tentang “Produktivitas Full Day School” pada dua bulan yang lalu, atau tulisan tiga hari yang lalu tentang “Pertempuran Sengit di Medan Full Day School”.

Walaupun tulisan-tulisan itu adalah analisa yang lahir dari wacana sebelum lahirnya Permen 23 itu (saat awal Mendikbud diangakat jadi menteri), namun saya tegaskan bahwa sepertinya nilai kritis di dalamnya masih relevan dan bersenyawa dengan kebijakan permendikbud ini. Ada pun persamaan dan perbedaan antar analisis itu dengan teks permendikbud, maka dengan tulisan ini saya mencoba menguraikannya. Walaupun saya tidak menganalisis perkalimat, karena terlalu berjibun, saya akan ambil prinsipnya saja. Tidak ada tendensi apa-apa tentang kebijakan ini, paling tidak saya bisa berargumentasi dalam melihat “pertempuran’ protagonis dan antagonis dalam menghadapi fenomena ini.

Terakhir, saya mendapatkan informasi viral melalui group WA bahwa pokok pertemuan Dirjen Dikdasmen dengan Dirjen Pendidikan Islam Kemenag di ruang Rapat Dirjen Dikdasmen Lt. 5 Gd. E pada tanggal 12 Juni 2017 menyimpulkan bahwa tidak ada yang perlu diresahkan tentang Pendidikan Islam yang “gulung tikar” dan justru menjadi sebaliknya, MD akan booming dan menjadi program nasional karena pada dasarnya Full Day School (FDS) adalah penguatan karakter siswa di sekolah. Masalah teknis akan dibicarakan melalui konsolidasi pihak terkait.

Kasus di atas, dari anatgonis, protagonis dan diskusi yang akrab dan hangat antar lembaga yang memiliki kepentingan pendidikan di negeri ini telah mencerminkan kepada kita betapa hebatnya dampak permendikbud No 23 tahun 2017. Semua tokoh dari PBNU, MUI, Para pemerhati pendidikan, Kemendikbud dan Kemenag begitu riuh membicarakan ini di berbagai kesempatan terutama dunia pemberitaan. Di group medsos yang saya ikuti pun begitu banyak yang menumpahkan perasaan dan ke(tidak)berpihakan mereka atas permen ini.

Permendikbud ini saya bagi bahasannya menjadi tiga bagian; bagian tentang relasi guru dan hari sekolah (pasal 3 dan 4), bagian kegiatan-kegiatan hari sekolah (pasal 5), dan bagian penetapan kebijakan dan implementasi hari sekolah (pasal 8). Permendikbud ini sangat sederhana dan tidak rumit untuk ditafsirkan sehingga maknanya jelas dan tidak anti kritik. Di dalamnya juga tidak ada satu kata pun menyinggung kata “FDS” sehingga FDS bisa jadi akronim sederhana untuk mengganti LHS (lima hari sekolah dengan 8 jam perhari, 40 jam sepekan). Saya kira tidak salah kita mengganti LHS dengan FDS asal ada konsensus kita bersama.

Pertama, pasal yang menjadi pokok alasan dalam penerbitan permendikbud ini adalah tentang beban kerja Guru. Guru yang menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) tunduk pada UU No. 5 tahun 2014 dimana mereka memiliki beban kerja selama 40 Jam perpekan. 40 jam inilah yang menjadi alasan utama jumlah hari sekolah di lima harikan dengan penambahan jam setiap harinya menjadi 8 jam dari 5 – 7 jam sebelumnya.

Sebagaimana kebijakan awal bahwa kewajiban mengajar guru adalah 24 jam pelajaran (JPL) sepekan. Jadi dalam lima hari guru bisa mengajar 24 jam, sesisanya mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, mengukur, dan mengevaluasi siswanya. Melalui paradigma lama guru, 24 jam ditafsirkan mentransfer ilmu, sehingga terminologi “mengajar” lebih pas. Ada 16 jam untuk kegiatan lainnya.

Faktanya, setiap guru ASN yang mengajar di sebuah sekolah tidak full berangkat ke sekolah selama enam hari dalam sepekan. Dengan jumlah guru yang banyak di sekolah, semua memilki jadwal yang tidak tumpang tindih. Mereka bisa datang ke sekolah selama 4 hari untuk mengajar dan satu hari untuk piket. Atau mereka tiga hari mengajar dan dua hari untuk melaksanakan tugas guru lainnya. Untuk mayoritas guru, sepertinya 5 hari waktu ke sekolah sudah ada sejak 24 JPL itu diimplementasikan (ingat, guru sebagai pegarai fungsional, bukan struktural).

Jadi, permendikbud ini adalah legalisasi atas tradisi mayoritas guru mata pelajaran (GMP) di sekolah, dan ini tentu saja berbeda dengan guru kelas (GK) di SD yang harus masuk 6 hari setiap minggu dengan tidak ada kewajiban 24 JPL tadi. Untuk kasus GMP, saya kira tidak ada yang perlu dikwatirkan karna memang sudah tradisinya begitu, namun ada masalah di GK. Mereka akan dipaksa untuk memepercepat perkembangan kognisi siswa. Kita tahu, semakin lama di sekolah, maka semakin bosan siswa-siswa SD kita. Ini akan menjadi masalah yang sangat serius.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun