Semalam saya dikirimi tentang isi web beralamat www.listrik.org./pln/tarif-dasar-listrik-pln. Di dalamnya diuraikan kenaikan tarif dasar listrik yang membumbung tinggi belakangan ini. Kemarin pun saya membayar listrik via atm, saya juga terhenyak, meningkat lebih 200% dari tahun biasanya. Fakta ini pun saya baca pada komentar berakun Ika Hppy yang menyebutkan bahwa awalnya beliau membayar listrik cukup 185 ribu, kemudian April naik jadi 280 ribu lalu Mei jadi 330 ribu dan terakhir bulan ini Juni menjadi 427 ribu. Naik yang fantastik kan? Terlepas dari komentar yang pedas dari para pelanggan yang kasuistik, saya bisa simpulkan semua yang berkomentar menyatakan ketidak setujuan harga listrik yang melangit.
Saya kira ini sudah menjadi rahasia umum dan sudah diketahui oleh semua pihak. Jeritan-jeritan ibu rumah tangga melalu akun Facebook sudah tak terbilang jumlahnya. Dari yang vulgar mengatakan kesalahan rejim pemerintah, sampai kepada bahasa yang sindir menyindir, bahkan yang paling heboh adalah membandingkan listrik saat pra reformasi, setelah reformasi dan rejim kini. Mereka berasumsi hidup lebih enak di zaman orba ketimbang saat ini. Itulah fakta masyarakat kita kali ini.
Terlepas dari kehebatan rejim Jokowi yang sudah di bahas dalam tulisan saya sebelumnya, saya harus akui bahwa masalah listrik adalah masalah yang penting. Saya akan mencoba menganalisis kenaikan tarif dasar listrik (TDL) ini dari sudut pandang saya. Saya akan mencoba pula menganalisis kenapa tidak ada riak kekecewaan dari para pendemo wabil khusus mahasiswa. Sebenarnya tulisan ini hampir sama pesannya dengan tulisan sebelumnya tentang “Pendidikan, Mahasiswa dan Listrik”, namun sedikit direproduksi agar ada informasi yang lebih. Untuk yang penasaran, silahkan klik www.kompasiana.com/zakimu79 dan pilih artikel dimaksud.
Kenapa listrik naik lagi? Saya membagi alasan pemerintah ke dalam tiga hal. Pertama pemerintah mengadopsi sistem ekonomi liberal. Ekonomi ini menyandarkan semua kebijakan kepada pasar. Bila pasar bahan dasar listrik, dalam TDL adalah harga bahan bakar, naik maka konsumen pun harus mendapatkan resiko kenaikan. Sebenarnya, negara tidak hadir untuk membela rakyatnya. Negara (yang diatur oleh pemerintah hasil pemilu) adalah hanya sebagai operator saja tentang memberlakukan kebijakan ekonomi pasar di negaranya. Negara tidak merasa bertanggung jawab atas jeritan rakyat kecil atas beban hidup yang mencekiknya.
Kedua pemerintah sedang membangun insfra struktur. Membangun ala rejim saat ini dengan tag line “kerja. Kerja. Kerja” membutuhkan dana besar. Di beberapa situs berita disebutkan Indonesia telah meminjam ribuan triliyun untuk melaksanakan pembangunan insfra struktur ini. Saya melihat banyak pelabuhan dan airport yang dibangun, tol yang menghubungkan beberapa kota di Jawa, Sumatra dan Papua pun memang sedang dalam pengerjaan. Hal yang paling rasional-matematis memang rakyat harus membayar lebih untuk cicilan utang yang harus dibayarkan. Instrumen apalagi yang bisa digunakan oleh pemerintah untuk mengambil cicilan dari rakyatnya kecuali dari pajak dan menjual listrik.
Ketiga pemerintah adalah pihak yang memonopoli listrik. Jika Pertamina membolehkan perusahaan lain untuk membuka SPBU semacam Shell dan Petronas, berbeda dengan PLN. Ia adalah perusahaan tunggal yang mensuplay listrik untuk seluruh negeri. Mungkin ada perusahaan lokal yang dapat mensuplay listrik untuk daerahnya, tapi PLN adalah perusahaan tunggal yang memiliki kekuasaan mutlak untuk listrik kita. Dengan single authority yang dipegang, maka kebijakan harga yang diserahkan ke pasar ditentukan sendiri oleh PLN. Siapa yang larang. Toh tidak ada harga pembanding. Di sinilah dholimnya PLN terhadap bangsa, satu sisi monopoli dilakukan oleh PLN, di sisi lain harga yang diserahkan ke pasar itu tidak memiliki kompetitor sebagai saingan. Dimensi teori ekonomi pembangunan dilanggarnya.
Lalu, kenapa bangsa ini diam. Mahasiswa yang biasa teriak di jalanan seolah mereka tidak mampu berbuat banyak. Ada beberapa alasan yang mungkin menjadi penyebab tidak lahirnya demonstrasi di rejim ini atas listrik yang “menyetrum”. Pertama kekuatan media nasional yang sudah terencana. Jika kita amati media nasional kita, sepertinya sudah sepakat untuk tidak mengkritisi pemerintah. Salah satu tivi yang getol menyuarakan kritik kepada pemerintah pun sekarang berubah format jadi tivi berita dengan banyak hiburannya.
Kita paham, bahwa untuk menjadikan sebuah persepsi perlu ada desain isu yang dirancang secara khusus. Media nasional sebagai media yang memiliki ruang untuk itu di take over oleh pemerintah agar mendesain berita yang memuluskan rencana pemerintah tanpa kritik. Kalaupun perlu adanya kritik, maka harus dilakukan dengan soft dan harus mencegah dari anarkisme macam demonstrasi jalanan. Berita benar-benar dikontrol oleh pemerintah agar tidak kontra produktif.
Kesepakatan inilah yang akhirnya isu listrik didesain sedemikian rupa sehingga tidak memunculkan riak yang tajam. Untuk melupakan traumatik masyarakat atas isu listrik, maka dihembuskanlah isu-isu insidental yang memikat dan mengubah persepsi masyarakat tentang kenaikan TDL dan pajak lainnya. Isu murahan itu bagai morfin yang disuntikan kepada kepala massa agar melupakan kenaikan sejenak akan harga TDL. Dan akhirnya, sukses. Kasus kriminalisasi ulama, Afi, “Korupsi” Amien Rais, dan kasus lainnya dapat menutupi kenaikan TDL yang menyetrum. Masyarakat pun tidak punya energi untuk berdemo dalam dunia daring (online) karena mereka tidak punya cyber army macam Buzzer Ahok, Muslim Army atau lainnya.
Kedua arogansi Polri sepertinya telah merusak keberanian mahasiswa dan massa lainnya untuk berdemo. Sesuatu hal yang kecil pun sepertinya dapat dikriminalkan. Buni Yani saja yang mengupload video dugaan penistaan agama dipenjara. Amien Rais saja yang memiliki basis masa yang kuat bisa digiring KPK, begitupun Habib Rizieq Shihab yang mampu menggerakan lebih lima juta orang untuk Aksi Bela Islam sekarang di tersangka kan. Lalu, mahasiswa punya kekuatan apa? Di samping tekanan dosen yang tinggi dari rektor (karena hanya rejim kali ini rektor harus dipilih presiden) dan suasana kampus yang “mati” untuk berdemu, pun demikian setiap orang berpikir dua kali untuk melawan rejim kali ini. Update status FB pun harus mikir dua kali takut di tangkap cyber crime Polri. Mencekam sekali ya?
Ketiga gaya petak umpet pemerintah dalam menyetrum harga listrik. Sosialisasi sepertinya bukan lagi hal yang penting dalam kenaikan TDL. Masyarakat adalah pelanggan yang harus nurut kepada PLN. Kalau mau silahkan bayar, kalau tidak bayar mohon maaf kami cabut. Terakhir saya baca berita bahwa PLN berani mengganti meteran Pascabayar dengan Token tanpa persetujuan pelanggan. Entah benar atau tidak, kalau benar, arogansi bener tuh PLN. Siapa sih yang tidak butuh listrik hari ini? Tentu saja PLN tahu psikologis massa tanpa listrik. Mereka adalah raja di negeri ini untuk urusan energi listrik. Maka, semuanya harus manut dan nurut kepada kebijakan PLN.
Bila saja PLN adalah Telkomsel yang sebagian sahamnya sudah dimiliki Singapura dan ada pembanding Indosat yang sebagian sahamnya dimiliki Qatar, saya kira tidak apa mahal juga. Ini PLN, sudah 100% milik negara, single authority dan tidak bisa ditolak karena kebutuhan dasar manusia, menaikan TDL seenaknya saja. Siapa yang menjerit? Masyarakat kecil. Para karyawan yang bekerja mati-matian dinaikan bayarannya hanya untuk membayar kenaikan TDL. Apa tidak gila PLN ini?
Sebagai perusahaan negara yang wajib patuh terhadap Undang-undang, selayaknya sosialisasi adalah instrumen penting dalam bernegara. Janganlah masyarakat dijadikan sapi perah atas nama kemajuan bangsa. Baiklah kita bukan Qatar yang setiap kepala warga negara telah dibiayai gas buminya 1,4 miliyar perbulan. Kita juga bukan Amerika yang untuk orang pengangguran harus dibiayai negara, kita juga bukan Brunei Darussalam yang untuk hidup sudah dijamin kesejahteraannya oleh Sultan Bulkiah. Kita Indonesia, tapi bukan berarti rejim ini harus kejam terhadap rakyatnya kan. Kita bukan hidup di Korea Utara Bung!
***
Demi maju, apakah kita perlu mengorbankan kebahagiaan rakyatnya?
Demi hebat, apakah kita butuh melilit perut rakyatnya dengan sabuk kelaparan?
Demi pembangunan, apakah kita perlu kita bunuh kebutuhannya dengan cekikann yang tajam?
Sebagai orang normal, saya katakan “Tidak!”.
Bumisyafikri, 10/6/17
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H