Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Didikan Purwakarta untuk Menjadi Balinya Jawa Barat (Part I)

31 Mei 2017   20:50 Diperbarui: 31 Mei 2017   20:57 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah menunggu begitu lama sang Bupati untuk dapat bersua dengan kami, maka keluarlah beliau dengan gayanya yang nyentrik. Kalau para petugas (pegawai pemda) memakai warna hitam sebagai pakaian wajib, maka boss nya memakai warna putih dengan ikat kepala yang mirip di Bali. Saya melihat bukan ikat pinggang ala Sunda yang banyak digambarkan oleh si Kabayan, namun iya mirif pecalang di Bali. Sejak saya berkeliling jawa Barat, apabila saya menemukan mobil kuning di jalanan dengan nama partai Golkar sebagai identitasnya, maka foto beliau dengan warna putih dan ikat kepala putih percis sama yang saya temui saat itu. Ia adalah orang konsisten dalam berpakaian. Ia tidak berjas ala bapak bupati kebanyakan, ia hanya menggunakan pakaian yang sederhana yang orang bilang mirif dengan orang Bali.

Ketika kita sudah bercakap-cakap sebentar, maka proses kuliah umum dari beliau dilaksanakan. Salam ala sunda “sampurasun” dan jawaban “rampes” menjadi pembuka. Ada rasa keanehan yang saya temui dimana kita biasa mengawali dengan salam islami. Namun sepertinya beliau paham, maka salam islami itu keluar juga dari mulut beliau. Dengan menggunakan bahasa Sunda, Ia begitu lancar berpidato dan mampu mengoyak-ngoyak perasaan audiennya. Serius dan ketawa adalah respon pendengar saat ia berpidato. Menurut saya pidatonya berbobot dan penuh dengan makna. Saya melihat pidatonya lebih baik daripada pidato gubernur saat ini. Tidak ada tendensi untuk penilaian ini. Ini mah menurut saya.

Saya rangkum beberapa isi dari pidato sang bupati. Isi ini juga yang menjadi jawaban dari beberapa pertanyaan saya tentang fenomena yang dibangun oleh bupati. Inilah beberapa isinya. Pertama ia membangun Purwakarta seperti Bali karena Bali adalah destinasi Internasional di Indonesia. Bila Bali menjadi pusat wisata dan menghasilkan devisa, kenapa kita tidak bisa membuat Bali-Bali di daerah lain dengan penambahan kekhasan daerah masing-masing. Bali itu bisa diciptakan, berbeda dengan Raja Ampat, atau Danau Toba yang sulit untuk diciptkan. Inilah nilai lebih dari seorang bupati. Rasional juga ya?

Ketika saya tanyakan akan ke”musyrikan” yang dilakukan oleh bupati atas gedung-gedung dan patung-patung di Purwakarta, dia dengan entengnya menjawab itu hanya ornamen. “apakah kita main catur yang warnanya kotak hitam putih berarti kita juga musyrik?” singkat jawabannya tapi harus dipikirkan dengan dalam. Ia menambahkan, ornamen itu hanya hiasan yang hanya jadi bumbu dalam menjadikan Purwakarta sebagai Bali kedua. Bila kita konsisten menjadikan bali kedua, maka semua ornamen juga harus disediakan. Tapi, itu bukan berarti kepercayaannya juga dilakukan. “saya masih sholat, saya masih muslim, dan Islam saya sama seperti Islam Anda”. Jadi jelas, opini masyarakat tentang sang Bupati tidak benar dan salah paham.

Kedua filosofi sunda adalah ruh dari semua ke-Bali-an yang dirancang. Kolam yang mengelilingi bale paseban adalah filosofi Sunda. Sejak dulu, orang sunda apabila membuat rumah pasti ada kolam di sekelilingnya. Bukan hanya kolam, tapi harus ada air kolam yang mengalir yang bisa menentramkan jiwa. Bila ada tetangga yang menggosipkan kita atau orang lain, maka aliran air yang keras itu menutupi suara gosip, sehingga kita terhindar dari gosip dan dosa. Ucapan ini mengingatkan saya kepada Ayat Qur’an dimana surga yang digambarkan oleh kitab suci itu adalah tajrî min tahtihal Anhâr (mengalir di bawahnya sungai-sungai). Ini menunjukan bahwa di rumah ala surga membutuhkan aliran sungai. Di rumah saya yang kecil pun saya paksa ada aliran air dengan menggunakan pompa listrik dengan ikan-ikan mungil.

Sang Bupati menjelaskan kepada saya bahwa filosofi Sunda menjadi landasan membangun Bali di Jawa Barat. Orang Sunda sangat menghargai alam dan bersatu dengan alam. Ia menjelaskan bahwa untuk hidup harus mengerti alam dan harus menghargai alam. Bila tidak, maka alam akan tidak suka kepada kita. Kerusakan alam akan membuat alam marah kepada kita. Bisa jadi semua bencana adalah karena kita tidak mencintai alam, dan hidup tanpa menghargai alam sebagai tempat kita berlindung. 

Bambu cetok yang di buat di tasikmalaya adalah hasil alam, dan ia tidak mungkin menggunakan plastik yang bisa merusak alam. Orang Sunda sangat mencintai tanah dan air nya. Mereka tidak akan merusak tanah yang dipijak dan air yang diminum. Maka membakar tanah adalah sesuatu yang dilarang (seperti halnya membuat genting). Maka orang Sunda menggunakan genting daun kawung sebagai gantinya.

Masih ada dua alasan penting lagi yang harus saya sampaikan. Di samping itu, saya perlu menyampaikan perasaan sesudah saya mengunjungi Purwakarta dan analisa saya tentang Purwakarta yang fenomenal di tangan Bupati nyentrik itu.

***
Untuk membuat menjadi lebih menarik dan maju maka kau bisa jadi the first
Kalau tidak mampu the first maka jadilah the best
Bila tidak mampu menjadi the best maka jadilah be different
Karena inovasi itu lahir dari keanehan-keanehan.

Bersambung
Kuningan, 31/05/17

m.tempo.co
m.tempo.co

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun