Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Didikan Purwakarta untuk Menjadi Balinya Jawa Barat (Part I)

31 Mei 2017   20:50 Diperbarui: 31 Mei 2017   20:57 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Zaki Mubarak

Saya memiliki dua kisah yang unik tentang Purwakarta, sebuah kabupaten di sebelah utara Ibu kota Provinsi Jawa Barat, Bandung. Yang pertama itu rahasia saya dan yang kedua adalah tentang kunjungan tiga bulan lalu bersama para mahasiswa. Kunjungan itu diinisiasi oleh mahasiswa dan juga kegalauan mereka atas bupatinya yang nyeleneh. Siapa sangka, bupati yang alumni HMI itu dipersepsikan begitu kental dengan syirik, khurafat dan berhala. Mereka bertanya kepada saya atas pandangan bupati Purwakarta untuk mengubah secara radikal tentang budaya purwakarta yang sunda menjadi “Bali”. Ada dimensi perubahan keyakinan Sunda yang islami menjadi Bali yang kenal dengan dewanya.

Untuk menjawab secara konseptual dan empiris, maka saya harus bawa mereka ke lokus aslinya. Biar jawabannya langsung dari yang bersangkutan. Agar tidak ada fitnah dan prasangka atas ke “musyrik” an sang Bupati. Bagi saya ini adalah cara mendidik mereka untuk mengetahui cara membangun sebuah daerah, bagi mahasiswa ini adalah kuliah pembangunan dan sekaligus hiburan. Terlepas saya mempromosikan bupati yang mau nyalon Gubernur Jabar itu, saya menulis ini murni atas keterpanaan saya atas perubahan drastis Purwakarta sebagai kabupaten biasa, menjadi kabupaten penuh dengan sensasi, berwawasan pariwisata, dan yang paling penting kontroversi untuk menjadi Bali kedua di Indonesia.

Sebelum menganalisis tentang bagaimana bupati Dedi mendidik warganya untuk menjadi Balinya Jawa Barat, saya harus gambarkan dulu kunjungan saya ke purwakarta sebagai tamu terhormat beliau, sekaligus harus menjelaskan perasaan pertama saat datang, lalu perasaan setelah mendengar ceramahnya dan perasaan setelah pulang. Mudah-mudahan dengan cerita pribadi ini, Anda mampu melihat secara jernih bagaimana cara membangun sebuah kota yang biasa menjadi luar biasa. Bila Anda tidak bisa merasakan apa yang saya rasakan, paling tidak anda terhibur dengan tulisan saya ini. Mana yang Anda pilih? Saya ingin Anda memilih yang pertama.

Awal ide ke purwakarta hadir karena ada informasi adanya “Air Mancur Sribaduga Situ Buleud”. Bagi mahasiswa ini akan menjadi tempat selfie dan groufie yang sangat indah dan bisa disebar melalui media sosial. Mereka berasumsi bahwa berfoto ria di depan Airmancur yang katanya terbesar di Asean itu akan menambah nilai foto mereka dipandang oleh teman-temannya. Setelah kita sepakat mengunjungi beberapa perguruan tinggi untuk acara resmi, kami pun memutuskan Purwakarta sebagai tujuan akhir, terutama air mancur. Dalam hati, saya berkeinginan ingin mengetahui apa sebab Bupati merombak tatanan Purwakarta menjadi Bali Jabar dan landasan filosofi apa yang beliau sandarkan.

Setelah melakukan perjalanan dan joint lecture dengan berbagai ahli di sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung, akhirnya kami berangkat ke Purwakarta. Sang bupati telah menelpon kami berkali-kali karena ingin secepatnya bertemu. Entah apa alasannya beliau ingin cepat bertemu kami, apakah ini ada hubungan dengan Pilgub Jabar atau karena kesamaan platform orgnisasi mahasiswa, atau mungkin rindu ke saya. Saya tak tahu. Kalau ia rindu saya, saya pun rindu beliau, dengan rindu dimensi yang berbeda dengan rindu ke istri saya yah. Awas tidak boleh interpretaasi macam-macam.

Karena ada keterlambatan bis dan kegiatan jam karet di Bandung, maka kami pun tiba terlambat dan pak Bupati menghabiskan waktu bersama tamu yang lainnya. Pas saya dan para mahasiswa datang, aroma Bali sudah terpancar di jalan Purwakarta. Di jalan masuk ke Purwakarta saya melihat banyak patung ala Bali dengan ditempeli sarung yang khas kotak hitam putih. Ini berbeda dengan jalan perbatasan kabupaten lain di kota Jabar lainnya, yakni berupa gerbang yang khas. Di Purwakarta saya melihat hal yang sama di Bali, dimana patung besar menyambut kami dengan kemenyan di depannya yang dibakar. Saya katakan sama karena tiga tahun yang lalu saya satu minggu tinggal di Bali untuk liburan, bersama mahasiswa juga (baca: liburan gratis).

Ketika tiba di Balai Kota, aroma Bali kian menyerbak. Patung yang besar dengan balutan sarung kotak hitam putih ala Bali berdiri tegak di gerbang masuk. Di gedung pertemuan yang belakangan saya ketahui namanya bale paseban (pasebaan, berarti pengorbanan diri), arsitektur dan ornamen Bali kental sekali. Setiap tiang yang menyokong gedung dibalut dengan kain sarung yang sama dengan patung di gerbang dan di jalan tadi; kotak putih hitam. Di area masuk gedung, ada kereta kencana yang di”kultuskan” dengan disandingkan pada patung-patung yang menyeramkan. Kereta itu yang pada Agustus tahun kemarin di pakai Presiden Jokowi untuk membawa bendera Sang Saka Merah Putih. Ada patung semacam harimau dengan taring yang panjang, ada juga patung mirif barongsay yang biasa saya temui di Bali. Dan setiap jalanan di balaikota pun penuh dengan gambar-gambar khas Bali yang kompak.

Saat duduk di bale paseban, ada seorang kakek-kakek yang sedang membuat wayang ala khas sunda, si cepot. Bersamaan dengan itu, para PNS pemda yang bertugas untuk menjamu kami pun berseragam yang aneh bila dibandingkan dengan PNS daerah lain. Mereka menggunakan pakaian hitam dengan ikat kepala yang menurut saya seram. Keseraman itu pun ditambah dengan adanya bakar menyan yang menyengat hidung. Saya melihat ada aroma mistis di gedung ini. Karpet yang kami duduki pun bergambar harimau (saya menerka ini adalah harimau siliwangi). Rasanya empuk, namun saya merasakan bahwa keempukan itu agak menakutkan saya sebagai orang beriman. Takut ada aroma klenik yang bisa membuat saya musyrik. Pas saya tanya kepada mahasiswa, mereka pun merasakan hal yang sama.

Bukan hanya itu, gedung itu pun dikelilingi oleh kolam yang bergemuruh dengan pancuran air yang digerakan oleh pompa listrik. Airnya kelihatan bersih, tapi pas saya mau hirup, airnya tidak begitu suci dan seperti membahayakan bila diminum. Tuan rumah pun melarang saya untuk berwudhu di sana. Ketika saya meminta untuk sholat di bale Paseban, tuan rumah membolehkan tetapi dengan menawarkan agar lebih baik sholat di mesjid di sebelah gedung. Saya tidak tahu, kenapa saya tidak jadi solat di bale paseban itu. Saya akhirnya melakukan sholat di mesjid pemda di sebelahnya. Tapi apa yang saya dapatkan? Karpet mesjidnya bermotif harimau yang hampir mirip dengan di bale, dengan nuansa hitam dan putih yang sangat berbeda dengan mesjid kebanyakan. Yang saya tahu karpet mesjid biasanya berwarna hijau atau merah. Saya melihat ornamen Bali sangat menancap di semua gedung di sini.

Yang berbeda dari Bali adalah saya melihat ornamen sepanjang jalan bale kota menuju Sribaduga yang sangat indah di malam hari adalah modifikasi cetok untuk alat memperindah lampu jalanan. Belakangan saya tahu bahwa cetok (topi khas para petani terbuat dari bambu) itu khusus didatangkan dari Tasikmalaya sebagai pewaris kerajinan bambu. Saya melihat rangkaian cetok-cetok dengan kain yang berwarna warni membuat suasana malam di balekota itu sangat indah, berkesan dan meriah.

Setelah menunggu begitu lama sang Bupati untuk dapat bersua dengan kami, maka keluarlah beliau dengan gayanya yang nyentrik. Kalau para petugas (pegawai pemda) memakai warna hitam sebagai pakaian wajib, maka boss nya memakai warna putih dengan ikat kepala yang mirip di Bali. Saya melihat bukan ikat pinggang ala Sunda yang banyak digambarkan oleh si Kabayan, namun iya mirif pecalang di Bali. Sejak saya berkeliling jawa Barat, apabila saya menemukan mobil kuning di jalanan dengan nama partai Golkar sebagai identitasnya, maka foto beliau dengan warna putih dan ikat kepala putih percis sama yang saya temui saat itu. Ia adalah orang konsisten dalam berpakaian. Ia tidak berjas ala bapak bupati kebanyakan, ia hanya menggunakan pakaian yang sederhana yang orang bilang mirif dengan orang Bali.

Ketika kita sudah bercakap-cakap sebentar, maka proses kuliah umum dari beliau dilaksanakan. Salam ala sunda “sampurasun” dan jawaban “rampes” menjadi pembuka. Ada rasa keanehan yang saya temui dimana kita biasa mengawali dengan salam islami. Namun sepertinya beliau paham, maka salam islami itu keluar juga dari mulut beliau. Dengan menggunakan bahasa Sunda, Ia begitu lancar berpidato dan mampu mengoyak-ngoyak perasaan audiennya. Serius dan ketawa adalah respon pendengar saat ia berpidato. Menurut saya pidatonya berbobot dan penuh dengan makna. Saya melihat pidatonya lebih baik daripada pidato gubernur saat ini. Tidak ada tendensi untuk penilaian ini. Ini mah menurut saya.

Saya rangkum beberapa isi dari pidato sang bupati. Isi ini juga yang menjadi jawaban dari beberapa pertanyaan saya tentang fenomena yang dibangun oleh bupati. Inilah beberapa isinya. Pertama ia membangun Purwakarta seperti Bali karena Bali adalah destinasi Internasional di Indonesia. Bila Bali menjadi pusat wisata dan menghasilkan devisa, kenapa kita tidak bisa membuat Bali-Bali di daerah lain dengan penambahan kekhasan daerah masing-masing. Bali itu bisa diciptakan, berbeda dengan Raja Ampat, atau Danau Toba yang sulit untuk diciptkan. Inilah nilai lebih dari seorang bupati. Rasional juga ya?

Ketika saya tanyakan akan ke”musyrikan” yang dilakukan oleh bupati atas gedung-gedung dan patung-patung di Purwakarta, dia dengan entengnya menjawab itu hanya ornamen. “apakah kita main catur yang warnanya kotak hitam putih berarti kita juga musyrik?” singkat jawabannya tapi harus dipikirkan dengan dalam. Ia menambahkan, ornamen itu hanya hiasan yang hanya jadi bumbu dalam menjadikan Purwakarta sebagai Bali kedua. Bila kita konsisten menjadikan bali kedua, maka semua ornamen juga harus disediakan. Tapi, itu bukan berarti kepercayaannya juga dilakukan. “saya masih sholat, saya masih muslim, dan Islam saya sama seperti Islam Anda”. Jadi jelas, opini masyarakat tentang sang Bupati tidak benar dan salah paham.

Kedua filosofi sunda adalah ruh dari semua ke-Bali-an yang dirancang. Kolam yang mengelilingi bale paseban adalah filosofi Sunda. Sejak dulu, orang sunda apabila membuat rumah pasti ada kolam di sekelilingnya. Bukan hanya kolam, tapi harus ada air kolam yang mengalir yang bisa menentramkan jiwa. Bila ada tetangga yang menggosipkan kita atau orang lain, maka aliran air yang keras itu menutupi suara gosip, sehingga kita terhindar dari gosip dan dosa. Ucapan ini mengingatkan saya kepada Ayat Qur’an dimana surga yang digambarkan oleh kitab suci itu adalah tajrî min tahtihal Anhâr (mengalir di bawahnya sungai-sungai). Ini menunjukan bahwa di rumah ala surga membutuhkan aliran sungai. Di rumah saya yang kecil pun saya paksa ada aliran air dengan menggunakan pompa listrik dengan ikan-ikan mungil.

Sang Bupati menjelaskan kepada saya bahwa filosofi Sunda menjadi landasan membangun Bali di Jawa Barat. Orang Sunda sangat menghargai alam dan bersatu dengan alam. Ia menjelaskan bahwa untuk hidup harus mengerti alam dan harus menghargai alam. Bila tidak, maka alam akan tidak suka kepada kita. Kerusakan alam akan membuat alam marah kepada kita. Bisa jadi semua bencana adalah karena kita tidak mencintai alam, dan hidup tanpa menghargai alam sebagai tempat kita berlindung. 

Bambu cetok yang di buat di tasikmalaya adalah hasil alam, dan ia tidak mungkin menggunakan plastik yang bisa merusak alam. Orang Sunda sangat mencintai tanah dan air nya. Mereka tidak akan merusak tanah yang dipijak dan air yang diminum. Maka membakar tanah adalah sesuatu yang dilarang (seperti halnya membuat genting). Maka orang Sunda menggunakan genting daun kawung sebagai gantinya.

Masih ada dua alasan penting lagi yang harus saya sampaikan. Di samping itu, saya perlu menyampaikan perasaan sesudah saya mengunjungi Purwakarta dan analisa saya tentang Purwakarta yang fenomenal di tangan Bupati nyentrik itu.

***
Untuk membuat menjadi lebih menarik dan maju maka kau bisa jadi the first
Kalau tidak mampu the first maka jadilah the best
Bila tidak mampu menjadi the best maka jadilah be different
Karena inovasi itu lahir dari keanehan-keanehan.

Bersambung
Kuningan, 31/05/17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun