Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memahami Persepsi dari Banyak Sudut

31 Mei 2017   06:24 Diperbarui: 31 Mei 2017   08:45 2610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(4) donnun. Prasangka benar. Kandungan kebenaran dalam tingkat ini adalah 75%. Tingkat inilah yang sejatinya menjadi mayoritas dalam agama-keberagamaan kita. Menafsirkan ayat-ayat suci dan sunnahnya dapat menjadi landasan cara hidupnya. Tingkat inilah yang banyak digunakan atas “kebenaran” cara pandang fikih sebagai sebuah komodifikasi hukum. Kebenaran fikih yang kita ikuti saat ini adalah kebenaran tingkat ini, sehingga dalam praktiknya tidak ada fikih yang 100% sama, baik dalam komodifikasi hukum maupun praktiknya.

(5) yakin dan ainul yaqin serta haqqul yakin. Yaqin disinyalir memiliki kebenaran 100%. Kebenaran ini harus didasari oleh teks sebagai bukti pembenarannya. Semisal pembagian mawaris Islam bahwa anak laki-laki dua bagian dan satu bagian untuk anak perempuan, itu sudah yakin karena ada teksnya. Ainul Yaqin yakni kebenaran yang bisa dibuktikan secara empirik antara teks dan konteks, sedangkan haqqul yaqin adalah kebenaran mutlak milik Allah swt.

Nah, dari sudut agama saja (semisal di atas konteks fikih), persepsi kebenaran memiliki tingkatan yang beragam. ini menunjukan tidak ada kebenaran mutlah kecuali kebenaran Tuhan yang maha kuasa. Jadi takfiri (mengkafirkan) adalah tindakan yang tidak paham atas keluasan agamanya. Ia mengkafirkan orang lain, padahal pemahaman agamanya masih tingkatan donnun 75% kebenaran. Dalam konteks persepsi tidak ada yang benar 100%.

Kedua dalam ilmu sosial. Persepsi dalam ilmu sosial lebih hebat lagi. Tidak ada kitab suci dalam ilmu sosial. Ia sangat bebas ditafsirkan sesuai dengan kebutuhannya. Karena untuk menggerakan manusia membutuhkan keyakinan untuk bertindak maka, para thinker persepsi mendesain sebuah persepsi untuk dijadikan isu yang ujungnya untuk melakukan sebuah aksi. Ada beberapa prilaku yang bisa dijadikan gambaran.

(1) menguasai media. Persepsi adalah kumpulan informasi melalui sensorik. Ini bisa berupa mata, telinga atau indera lainnya. Informasi ini harus diproduksi agar mampu ditangkap oleh motorik setiap orang. Ketika orang sudah menangkapnya, maka ia akan menyimpannya dalam memory jangka pendek (short term memory, STM). Bila dirasa informasinya tidak penting, maka dibuang dari STM. Agar informasi yang diproduksi sebagai desain persepsi itu diterima maka butuh retrieval (pengulangan-pengulangan). Dengan retrieval inilah informasi yang disimpat di STM masuk ke memori jangka panjang (Long Term Memory, LTM). Faktanya setiap berita selalu di”goreng” media untuk menghasilkan persepsi, bukan?

Bila informasi telah masuk ke LTM, maka dipastikan dapat disusun ulang dalam pemikiran dengan menggunakan scaffolding sehingga dapat dikenali dan ditafsirkan. Semakin deras informasi “persepsi” maka akan semakin deras juga pengenalan dan penafsiran informasi. Untuk meyakinkan, maka perlu media yang beragam dalam memproduksi persepsi agar dapat diterima dan diyakini sebagai kebenaran, walaupun isinya kejahatan.

Media sebagai yang memiliki wewenang dalam memproduksi informasi adalah pihak yang sangat beruntung untuk menguasai ranah publik secara luas. Ini menjadikan mereka berkuasa atas persepsi-persepsi yang bertebaran di muka bumi. Ia mampu menggerakan semua orang utnuk menjungkalkan rejim penguasa. Ia mampu mendistorsi nilai luhur sebuah bangsa. Ia juga mampu membalikan fakta dengan alibinya. Yang paling parah ia bisa memutarbalikan sebuah kebenaran dengan kejahatan. Itulah persepsi ala media sisi negatifnya, untuk yang positif banyak banget.

(2) persepsi sosial dengan dogma. Nilai luhur tentang kehidupan sosial awalnya diwariskan oleh orang kita sejak dahulu sebelum mengenal media. Nilai itu diberikan secara dogmatis dan harus diterima kita sebagai taken for granted. Si penerima harus menerima nilai sosial itu sebagai keharusan dan harus percaya atas isinya. Dengan adagium “dengan berjalannya waktu kamu akan mengerti ini” maka nilai ini bisa terus estafet dari generasi ke generasi. Persepsi yang didesain oleh orang kita zaman baheula terus mengalir pada setiap individu yang menerimanya.

Ketiga persepsi sains. Jika kita melihat perubahan ilmu pengetahuan (sains) dari mulai hukum gravitasi newton, relativitas eisntein dan yang terbaru hukum black hole stephen hawkin dalan bidang fisika, kita akan menyimpulkan bahwa sains tidak ada yang mutlak benarnya. Bila kita pun melihat ilmu geologi, sejak al kitab mengatakan bahwa bumi datar, kemudian ditentang galileo dengan mengatakan bumi bulat, lalu Qur’an menginformasikan bahwa bumi itu bulat tapi lonjong mirif telur unta, lalu sekarang muncul komunitas eart flat (bumi datar) kembali, maka itu menunjukan sains yang inkonsisten. Ini menunjukan bahwa sains itu tidak mutlak kebenarannya.

Jika sain itu eksak (tetap, exact) maka itu tidak benar. Ia muncul dari perhitungan yang menjadi teori dan belum tentu menjadi fakta ilmiah. Kebenaran sains hanyalah kebenaran pada dimensi waktu tertentu sesuai dengan alat dan teknologi yang digunakan. Sains bisa jadi benar ketika sudah menjadi fakta ilmiah, tapi itu tidak bisa jadi benar bila teori itu hanya kumpulan hipotesis yang belum terbukti dengan fakta ilmiah. Salah satu contohnya adalah teori darwin. Saya tidak melihat teori Darwin menjadi fakta ilmiah. Ini sama denga teori bahwa manusia berasal dari sepasang gen Adam dan Hawa. Belum ada fakta ilmiah yang mengatakan itu, maka secara sains saya belum mengatakan kebenarannya. Saya meyakininya secara dogmatis agama bukan dengan sains.

Dari ketiga bidang tadi (baca: agama, sosial dan sains), persepsi adalah segalanya. Ia mampu mengubah keyakinan seseorang atas realita, fakta empiris, dan data menjadi sesuatu yang berbeda. Bila sekarang misalnya Islam dikatakan sebagai agama terorisme, kita perlu bertanya apakah benar secara data empiris Islam itu teroris. Saya kita itu hanya permainan negara Barat yang takut akan perkembangan Islam di Barat terutama di Eropa. Apakah istilah radikalisme dan fundamentalisme Islam itu baik, saya kira media telah memelintir istilah itu untuk mendiskreditkan Islam. Agama itu butuh radix (mengakar), agama itu butuh fundamental (berdasar), lalu kenapa media menegatifkan dengan istilah itu? Itulah kekuatan persepsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun