Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Munggahan dan "Thanks Giving", di Mana Sisi Pendidikannya?

22 Mei 2017   21:51 Diperbarui: 23 Mei 2017   13:03 945
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Munggahan vs. Thanks Giving, Dimana Pendidikannya?
Oleh: Zaki Mubarak

Malam ini saya diundang oleh “murid” bahasa dan budaya asal Amerika untuk sekedar bersua dan makan bersama. Bagi mereka, itu adalah thanks giving party, bagi saya itu munggahan. Apapun namanya, kegiatannya sama makan malam. Bagi saya kegiatan ini sangat menyentuh. Banyak makna yang bisa saya ambil dari berkumpulnya tiga keluarga besar ini; keluarga saya berempat, keluarga Pak Andy dan Teena, keluarga Shane dan Victoria.

Dialog hangat kami seputar budaya sunda dan bahasa. Mereka sangat terhenyak manakala mengetahui bahasa sunda yang sangat kaya dan perasa. Budaya Sunda yang sangat dalam dan jauh berbeda dengan Indonesia yang sederhana. Mereka juga terkejut dengan budaya sunda yang sangat jauh berbeda dengan Amerika yang vulgar. Mereka pun tersenyum manakala tahu bahwa orang sunda itu santai, relaks dan sangat Kabayan. Dialog ini sangat friendy dan at home.

Dalam isi obrolan itu, mereka ingin mengetahui tentang budaya puasa Islam dan munggahan orang Sunda. Saya katakan kepada mereka tentang bagaimana bergembiranya orang Sunda untuk menghadapi bulan Ramadhan. Gembira mereka ditunjukan dengan makan bersama di ruang terbuka bahkan dengan moda transportasi terbuka. Tempat destinasi biasanya gunung, pantai atau tempat wisata murah. Bagi orang sunda “makan-ga makan asal kumpul”.

Sebagai timbal balik, mereka menyebutkan budaya mereka yang dianggap mirip dengan munggahan. Budaya itu adalah Thanks giving (memberi terimakasih, syukuran). Bagi mereka thanks giving day adalah saatnya berkumpul dengan keluarga dan makan bersama dengan kehangatan yang luar biasa. Mereka bisa bersua dalam kesederhanaan dan keharuan atas jasa pendahulunya. Budaya mereka sangat tinggi atas penghargaan terhadap orang yang berjasa atas segala kebaikan.

Bagi mereka, saya telah memberikan pelajaran yang berharga bagi keluarga Shane untuk sekedar mengenal bahasa dan budaya indonesia dan Sunda. Bagi mereka undangan ini adalah thanks giving. Ternyata, keharuan dan kekeluargaan yang saya terima sangat sama dengan munggahan ala keluarga saya di kampung. Jadi, dalam konteks ini saya merasa ada nilai yang sama antara munggahan dan thanks giving.

Bila saya analisis, maka akan ada persenyawaan antara munggahan (MG) yang spiritual-minded dengan thanks giving (TG) yang social-minded. (1) MG dan TG sama-sama untuk menyatukan keluarga. Awalnya, saya menganggap TG adalah pesta pora yang biasa ditunjukan oleh film holywood. Pas saya tanya, ternyata saya terhenyak. Orang Amerika sangat menghormati budaya leluhurnya, dimana saling menghormati dan bertakwa adalah identitas mereka. Namun, banyak virus yang berseliweran yang mengganggu kondisi ketakwaannya yang menjadikan Amerika dideskripsikan sangat buruk oleh orang Timur. Free sex, samen liven, sharing room, dan negatif lainnya diberitakan sebagai budaya Baarat yang glamour dan berseberangan dengan Timur.

Ternyata, saya terkejut bahwa thanks giving itu adalah acara dimana semua keluarga bersama dan saling mengingatkan satu sama lain atas jasa para pendahulunya. Ia mirif lebaran atau munggahan yang terjadi di Indonesia. Bagi yang jauh dari keluarga, mereka harus pulang untuk berkumpul dengan keluarga dan merasakan kebersamaan. Setiap keluarga harus saling menjaga dirinya dan terutama menjaga leluhurnya agar nilai yang ditanamkan dilestarikan dan mejadi pegangan bersama.

MG pun, walau dimensinya agak kurang hebat sehebat lebaran, memiliki keserupaan dengan TG. MG adalah instrumen penting bagi keluarga untuk bisa saling berbahagia dan saling memberi. Perbedaan yang mencolok adalah MG lebih disandarkan pada bulan puasa yang sangat agamis, sedangkan TG disandarkan pada keluhuran budaya Amerika yang sangat sosialis. Keduanya mengangkat tema pentingnya keluarga dalam mewariskan budaya luhur bangsa.

(2) TG dan MG adalah penunjukan rasa syukur. TG bermakna rasa syukur untuk jasa orang tua, keluarga dan kerabat lainnya atas kebaikan yang telah diberikan, sedangkan MG rasa syukur atas rahmat dan kebaikan atas sampainya hidup kepada bulan yang berkah. Setiap muslim selalu berdo’a untuk bisa sampai kepada bulan ini, Allohumma Bariklana fi rojaba wassa’bana wa balligna romadhona (ya Allah, berkahi kami di bulan rajab dan sa’ban dan sampaikan kami pada bulan romadhon). Antara TG dan MG sama-sama menjadi aktualisasi rasa syukur dengan dirayakan makan bersama.

(3) TG dan MG adalah persiapan kepada ujian kehidupan selanjutnya. TG dilakukan untuk meminta do’a kepada keluarga agar dapat menghadapi hidup selanjutnya. Andi dan Shane dalam TG yang melibatkan saya di dalamnya meminta do’a kepada Tuhan agar perjalanan Shane keliling Jawa Barat melalui hiking dan perjalanan selanjutnya ke Sulawesi mendapatkan kebaikan dan perlindungan. Saya dengarkan semua kata doanya sangat baik dan menyatakan rasa syukur karena bertemu saya di Indonesia. Jadi TG adalah instrumen mereka untuk berdo’a agar kehidupan selanjutnya lebih baik.

MG dalam segala dimensinya pun adalah instrumen untuk menghadapi bulan ramadhan yang maha berat. Bagi muslim yang kurang beriman, mungkin bulan ini adalah bulan yang merugikan. Mereka tidak bisa makan dengan bebas, merokok harus teratur, dan shalat terawih yang mencapekan. MG adalah moment pengingat bahwa kita akan bertemu dengan bulan yang maha berat untuk dilalui. Dari arti kata-nya pun “ramadhan” berarti membakar, panas. Jadi ramadhan adalah bulan yang sulit dan penuh ujian. Nah, MG adalah adalah cara lain untuk mempersiapkan diri agar di bulan ramadhan kita bisa tenang, fokus ibadah dan menjadi hamba Allah yang mulia.

Hari ini saya banyak belajar tentang Amerika yang sedari dulu saya berpikir negatif dengannya. Disiplin, On time, resposibility, respect, tidak menerobos lampu merah, teguh pendirian, konsistensi, dan belajar sungguh-sungguh adalah nilai Islam yang hadir dalam diri mereka. Bila saya mengatakan bahwa Annadhofatu minal Iman (Kebersihan itu sebagian daripada Iman) kepada mereka, maka dengan telak mereka membuat saya malu. Ketika di kampus kami yang Islami, mereka tidak menemukan apa yang saya katakan. Mereka berucap Islam Anda sampai pada mulut, belum pada sikap. Malu saya. Toiletnya kok kotor sekali?.{}

***

Bila saya katakan bahwa orang Indonesia ramah, maka saya pun tidak bisa mengelak bahwa hari ini Indonesia tidak seramah dulu. Bila saya katakan orang Indonesia itu bergotong royong, maka saya pun malu karena hari ini Indonesia saya tidak melakukannya. Bila saya katakan orang Indonesia itu relijius, maka saya pun tak bisa berkata saat dia katakan “saya melihat Amerika yang glamour di Indonesia’. Ah, saya malu sekali menyebutkan Indonesia di hadapan mereka.

Mari kita kembali kepada nilai kita. Nilai yang bagi mereka adalah luar biasa, tapi kita tinggalkan demi meraih nilai mereka.
RM. Asep Strobery, 22/05/17

[caption caption="zakimu79"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun