Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pendidikan Murah, Siapa yang Untung?

13 Mei 2017   18:42 Diperbarui: 14 Mei 2017   21:14 1434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pendidikan Murah, Siapa Yang Untung?
Oleh: Zaki Mubarak

Saya harus bernostalgia dahulu untuk masuk ke tema ini. Saya adalah orang yang disekolahkan di persekolahan yang dikelola oleh negara (Baca: negeri). Saat itu, orang tua saya yang engap-ngapan untuk membiayai 7 anaknya bersekolah plus pesantren memilki pandangan bahwa sekolah negeri adalah sekolah murah. Pandangan ini mewakili pandangan saat itu, dimana memang sekolah itu murah dan memiliki kualitas yang sama.

Sekolah negeri waktu itu hanya membayar SPP tanpa dibebani biaya lainnya. Buku tinggal pinjam ke perpustakaan, ujian tinggal ikutan dan luluspun tak ada biaya yang besar. Hal ini berbeda sedikit dengan sekolah swasta dimana biaya SPP lebih tinggi, setiap ujian harus ada biaya tambahan dan kalau ada kegiatan sekolah harus bayar. Itu normal, karena biaya swasta ditanggung oleh siswanya sedangkan biaya negeri ditanggung negara. Namun, bedanya tidak terlalu mencolok.

Setelah era reformasi, ada perubahan signifikan. Awal 98 saya masuk univeristas di bawah kementerian Agama, dan dihitung masih murah. Karena berbagai masalah, saya pun keluar dan mulai masuk universitas swasta. Di sanalah saya mulai agak paham begitu timpangnya biaya lembaga negeri dan swasta. Pendidikan tinggi rupanya memiliki kasus serupa dengan pendidikan sebelumnya, walaupun bedanya sangat mencolok. Jadi saya simpulkan swasta lebih mahal ketimbang negeri.

Namun, kondisi negeri berubah. Setelah adanya Undang-undang Badan Hukum Milik Negara (BHMN) untuk universitas, dan setelah munculnya entitas baru dalam persekolahan, maka pembiayaan pendidikan berubah. Universitas negeri BHMN dan bahkan diikuti yang non-BHMN menaikan biayanya. BHMN adalah swastaisasi universitas negeri, jadi mereka harus mencari uang sendiri untuk menghidupi rumah tangganya. Salah satu sapi yang diperasnya adalah mahasiswa. Jadi BHMN dan diikuti oleh BHMN adalah gerbang masuk mahalnya pendidikan tinggi negeri. Bayangkan, S2 saya harus dibiaya 35 juta di negeri sedangkan swasta hanya 20 juta.

Bagi persekolahan kini, sekolah yang relatif murah baik swasta maupun negeri telah dikaji oleh para pebisnis persekolahan. Mereka berpikir perlu menciptakan sebuah segmen persekolahan baru sebagai jawaban ketidak puasan para kaum kaya. Saat itu sekolah hampir sama kualitasnya; kurang berkualitas. Kemudian mereka menciptakan segmen ini dengan berbagai identitas diantaranya; sekolah internasional, sekolah Islam terpadu, sekolah alternative, home schooling, sekolah bilingual, atau sekolah sejenis lainnya. Tagline sekolahnya sama “sekolah lebih berkualitas”.

Prinsipnya, sekolah jenis ini adalah sekolah yang menjadikan lembaganya sebagai alat untuk menambang rupiah dengan menjual sesuatu yang tidak ada di persekolahan biasa, baik negeri ataupun swasta. Dengan sentiment kualitas internasional, memadukan Islam dalam persekolahan (laiknya madrasah, tapi dengan konsep yang berbeda), dwibahasa Inggris-Indonesia, fokus pada bakat, maka sekolah mampu mengkatrol citra persekolahan di dalam benak masyarakat. Sekolah ini dipersepsikan sekolah baik, luar biasa, hebat, berkualitas, bermartabat dan yang paling penting bergengsi.

Ternyata, segmen ini berhasil diciptakan dan laku. Agar berbeda dengan persekolahan biasa, maka daya beda mulai diciptkan untuk meningkatkan bonafiditas sebuah produk (sekolah). Harganya harus mahal, karena semakin mahal orang kaya akan merasa lebih tinggi dihargai gengsinya ketimbang anaknya sekolah di persekolahan biasa. Fasilitasnya harus lebih mutakhir, karena orang membayar tinggi harus dibayar dengan kualitas mumpuni. Promosinya harus elit, karena elitnya perkenalan akan masuk ke segmen elit pula. Jadi klop lah segemen ini menjadi sebuah sekolah yang dikategorikan sekolah bonafid, komersil dan sangat bergengsi.

Sekolah ini telah menciptakan adagium baru di benak masyarakat; “sekolah bagus adalah sekolah mahal”. Sebaliknya, sekolah murah adalah sekolah biasa-biasa saja, untuk orang biasa, fasilitas biasa, dan gurunya pun biasa. Kategori sekolah ini adalah sekolah milik negara, milik perorangan yang biayanya biasa, atau sekolah yang lahir dari pengabdian kepada masyarakat bernama pesantren, komunitas tokoh daerah, dan tokoh-tokoh pendidikan idealis dengan kocek yang pas-pasan. Sekolah ini tidak berdaya dengan menaikan harga seharga sekolah komersial.

Untungnya, sekolah kategori murah di atas adalah kelas yang jumlahnya sangat besar. Sekolah dengan tipe komersialisasi banyak berkembang di perkotaan, walaupun belakangan berkembang pesat di daerah pinggiran. Seperti seniornya, sekolah bonafid pinggiran ini menjual sentiment agama, internasional, bilingual yang dikemas menjadi baru. Mereka menggunakan standar yang sama, dengan tujuan sama: menjerat pendidikan untuk menghasilkan uang. Bagi sekolah murah, mereka adalah kompetitor tangguh, dan sepertinya bukan tandingannya. Masyarakat pun semakin tahu diri untuk sistem persekolahan ini, mereka menyesuaikan diri sesuai isi dompetnya.

Karena besarnya jumlah sekolah murah, maka kekuatan yang mereka miliki adalah basis masa. Mereka tidak memiliki uang, fasilitas ataupun kualitas yang bisa dijual selayaknya sekolah komersial. Jumlah masa inilah yang kemudian dijadikan jualan politik para politikus. Mereka berharap jadi penguasa dengan menjadikan kelemahan keuangan sekolah murah sebagai umpannya. Sekolah gratis melalui sistem BOS, tidak ada pungutan sekolah, Kartu-kartu pintar ala KJP dan lainnya dapat mengubah raut muka orang tua menjadi lebih ceria adalah janji-janji politis yang populis. Lalu, apa yang terjadi?, tentu saja mereka menang dan harus merealisasikan janjinya.

Bagi saya, fenomena ini baik untuk sebuah negara, namun perlu dianalisis, siapa yang mengais untung untuk “kebaikan” politik ini. Nah, saya akan mencoba melihat pihak yang diuntungkan dari gratisnya atau murahnya pendidikan ini. Saya tidak akan membahas secara normatif untung yang didapat oleh siswa dan orang tua dalam pendidikan gratis ini (karena itu mutlak tak membutuhkan analisis), tetapi saya harus lebih mendalam untuk melihat secara cermat pihak yang diuntungkan untuk kasus ini.

(1) pihak pertama adalah politisi (baca: pemerintah). Pimpinan pemerintah dominannya diwariskan kepada politisi. Mereka yang meraup untung atas gratis atau murahnya biaya sekolah. Elektabilitas dan popularitas mereka nanjak dan relatif bisa menjadi kampiun di pilkada(l) selanjutnya. Pendidikan gratis adalah instrumen laku dan disenangi saat kampanye disamping gratis atau murahnya biaya kesehatan. Lalu siapa yang rugi?

Yang rugi adalah guru dan sekolah. BOS diciptakan oleh politisi dengan drama yang begitu heroik. Mereka, para politisi, berjanji untuk merealisasikan BOS tetapi dengan banyak syarat. Standar pendidikanlah, kualitas gurulah, jam bekerja gurulah, jumlah siswalah, proposal kegiatanlah, dan lainnya adalah beberapa syarat mutlak yang harus dipenuhi guru. Kepala dan guru puyeung dibuatnya untuk membiayai rumah tangga dan operasional sekolah. Persyaratan yang begitu ketat ternyata tidak berbanding lurus dengan kebesaran jumlah dan ketepatan waktu pencairan. Para politisi mengelak, “maaf ada perubahan anggaran”. Koplak!.

(2) pihak kedua adalah owner persekolahan komersial. Dengan digratiskan atau dimurahkannya persekolahan biasa, mereka mengeruk keuntungan para kaum kaya. Secara psikologis, orang kaya gengsi bila sekolah harus gratis. Semakin sekolah berbayar tinggi, maka semakin tinggi status ekonominya pula. Sekolah tipe ini menawarkan berbagai unggulan yang disandingkan dengan persekolah biasa. Sebenarnya, mereka membandingkan tidak fair, tidak apple to apple. Sekolah yang dibiayai BOS dengan segala dinamikanya dibandingkan dengan sekolah berbiaya tinggi. Ya, siapa yang unggul? simpulkan sendiri jawabannya.

Pihak yang dirugikan dalam kasus ini adalah sekolah swasta biasa. Dengan BOS yang seadanya, sekolah swasta tidak memiliki opsi lain untuk menaikan biaya tambahan sebagaimana dulu dilakukannya. Ada hukum haram untuk biaya ini. Mereka harus membayar guru dan fasilitas bulanan di satu sisi bahkan kalau tidak malu menghutanginya, namun mereka haram untuk mengambil uang dari siswa di sisi lainnya. Ini seperti buah simalakama. Sekolah murah ini disuntik mati oleh BOS atas nama popularitas para pemegang kebijakan dan pendidikan yang gratis.

(3) pihak ketiga adalah penerbit buku dan kontraktor projek sekolah lainnya. Para penerbit memiliki kesempatan besar untuk masuk menjajakan buku. Mereka menganggap biaya sekolah gratis dan orang tua harus membayar bukunya. “Kan sekolahnya gratis, tapi bukunya harus beli Bu, Pak! There is no free lunch” kata mereka dengan nada menusuk. Dengan bekerja sama dengan guru yang tidak memiliki pilihan untuk berbisnis, maka lahirlah korporasi penjualan buku kecil-kecilan.

Tidak hanya penerbit, para politisi atau tim sukses politisi yang berkuasa mencoba masuk untuk menjadikan sekolah sebagai bancakan. Mereka meminta jatah kepada penguasa untuk mendapatkan projek pengadaan yang gratis, dari gedung baru sampai seragam mereka siap menerkam. Atas nama balas jasa, para kontraktor yang CV nya abal-abal ini melahap uang BOS dan memaksa sekolah untuk tidak memilih.

Yang rugi dalam konteks ini adalah sekolah juga. Penerbit buku yang berdatangan dan menggiurkan telah menurunkan marwah persekolahan menjadi “toko” yang untungnya ga seberapa. Dengan datangnya para kontraktor dengan identitas bertandatangan penguasa, pihak sekolah tak berdaya untuk membelanjakan BOSnya dengan setengah terpaksa. Sekolah adalah sapi peras para pendompleng penguasa.

Saya masih banyak memiliki banyak alasan untuk menunjukan bahwa gratisnya atau murahnya biaya pendidikan bukanlah murah beneran. Ini murah – murahan. Dari ketiga (walau masih banyak pihak yang bisa saya analisis) pihak yang diuntungkan, maka kerugian di ketiganya adalah berada di pihak sekolah dan guru. Untungnya pendidikan gratis atau murah, bukan untuk sekolah tapi untuk pihak lain yang telah memanfaatkan situasi. Bila saja itu untuk sekolah, maka itu hanya sebatas keuntungan promosi awal tahun saja, kesananya menjadi beban yang bikin menderita. Walau saya akui orang tua kaum papa adalah sangat mengharapkan pendidikan model ini.

Lalu, saya harus bertanya kepada Anda: pendidikan itu untuk siapa? Untuk sekolah dan guru atau para politisi? Untung pendidikan itu untuk siapa? Untuk menyejahterakan guru atau pengusaha pendidikan komersil? Projek pendidikan itu untuk siapa? Untuk sekolah dan guru atau untuk kontraktor pembonceng peguasa? Bila saja Anda bisa menjawab, silahkan telepon saya, kapan saja, itupun kalau para guru punya pulsa!{}

Sekolah murah itu perlu, tapi semuanya untuk guru dan sekolah. Yang lain tolong minggir.
Bumisyafikri, 13/5/17

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun