Mohon tunggu...
Zaki Mubarak
Zaki Mubarak Mohon Tunggu... Dosen -

Saya adalah Pemerhati Pendidikan tinggal di Tasikmalaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pendidikan Murah, Siapa yang Untung?

13 Mei 2017   18:42 Diperbarui: 14 Mei 2017   21:14 1434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi saya, fenomena ini baik untuk sebuah negara, namun perlu dianalisis, siapa yang mengais untung untuk “kebaikan” politik ini. Nah, saya akan mencoba melihat pihak yang diuntungkan dari gratisnya atau murahnya pendidikan ini. Saya tidak akan membahas secara normatif untung yang didapat oleh siswa dan orang tua dalam pendidikan gratis ini (karena itu mutlak tak membutuhkan analisis), tetapi saya harus lebih mendalam untuk melihat secara cermat pihak yang diuntungkan untuk kasus ini.

(1) pihak pertama adalah politisi (baca: pemerintah). Pimpinan pemerintah dominannya diwariskan kepada politisi. Mereka yang meraup untung atas gratis atau murahnya biaya sekolah. Elektabilitas dan popularitas mereka nanjak dan relatif bisa menjadi kampiun di pilkada(l) selanjutnya. Pendidikan gratis adalah instrumen laku dan disenangi saat kampanye disamping gratis atau murahnya biaya kesehatan. Lalu siapa yang rugi?

Yang rugi adalah guru dan sekolah. BOS diciptakan oleh politisi dengan drama yang begitu heroik. Mereka, para politisi, berjanji untuk merealisasikan BOS tetapi dengan banyak syarat. Standar pendidikanlah, kualitas gurulah, jam bekerja gurulah, jumlah siswalah, proposal kegiatanlah, dan lainnya adalah beberapa syarat mutlak yang harus dipenuhi guru. Kepala dan guru puyeung dibuatnya untuk membiayai rumah tangga dan operasional sekolah. Persyaratan yang begitu ketat ternyata tidak berbanding lurus dengan kebesaran jumlah dan ketepatan waktu pencairan. Para politisi mengelak, “maaf ada perubahan anggaran”. Koplak!.

(2) pihak kedua adalah owner persekolahan komersial. Dengan digratiskan atau dimurahkannya persekolahan biasa, mereka mengeruk keuntungan para kaum kaya. Secara psikologis, orang kaya gengsi bila sekolah harus gratis. Semakin sekolah berbayar tinggi, maka semakin tinggi status ekonominya pula. Sekolah tipe ini menawarkan berbagai unggulan yang disandingkan dengan persekolah biasa. Sebenarnya, mereka membandingkan tidak fair, tidak apple to apple. Sekolah yang dibiayai BOS dengan segala dinamikanya dibandingkan dengan sekolah berbiaya tinggi. Ya, siapa yang unggul? simpulkan sendiri jawabannya.

Pihak yang dirugikan dalam kasus ini adalah sekolah swasta biasa. Dengan BOS yang seadanya, sekolah swasta tidak memiliki opsi lain untuk menaikan biaya tambahan sebagaimana dulu dilakukannya. Ada hukum haram untuk biaya ini. Mereka harus membayar guru dan fasilitas bulanan di satu sisi bahkan kalau tidak malu menghutanginya, namun mereka haram untuk mengambil uang dari siswa di sisi lainnya. Ini seperti buah simalakama. Sekolah murah ini disuntik mati oleh BOS atas nama popularitas para pemegang kebijakan dan pendidikan yang gratis.

(3) pihak ketiga adalah penerbit buku dan kontraktor projek sekolah lainnya. Para penerbit memiliki kesempatan besar untuk masuk menjajakan buku. Mereka menganggap biaya sekolah gratis dan orang tua harus membayar bukunya. “Kan sekolahnya gratis, tapi bukunya harus beli Bu, Pak! There is no free lunch” kata mereka dengan nada menusuk. Dengan bekerja sama dengan guru yang tidak memiliki pilihan untuk berbisnis, maka lahirlah korporasi penjualan buku kecil-kecilan.

Tidak hanya penerbit, para politisi atau tim sukses politisi yang berkuasa mencoba masuk untuk menjadikan sekolah sebagai bancakan. Mereka meminta jatah kepada penguasa untuk mendapatkan projek pengadaan yang gratis, dari gedung baru sampai seragam mereka siap menerkam. Atas nama balas jasa, para kontraktor yang CV nya abal-abal ini melahap uang BOS dan memaksa sekolah untuk tidak memilih.

Yang rugi dalam konteks ini adalah sekolah juga. Penerbit buku yang berdatangan dan menggiurkan telah menurunkan marwah persekolahan menjadi “toko” yang untungnya ga seberapa. Dengan datangnya para kontraktor dengan identitas bertandatangan penguasa, pihak sekolah tak berdaya untuk membelanjakan BOSnya dengan setengah terpaksa. Sekolah adalah sapi peras para pendompleng penguasa.

Saya masih banyak memiliki banyak alasan untuk menunjukan bahwa gratisnya atau murahnya biaya pendidikan bukanlah murah beneran. Ini murah – murahan. Dari ketiga (walau masih banyak pihak yang bisa saya analisis) pihak yang diuntungkan, maka kerugian di ketiganya adalah berada di pihak sekolah dan guru. Untungnya pendidikan gratis atau murah, bukan untuk sekolah tapi untuk pihak lain yang telah memanfaatkan situasi. Bila saja itu untuk sekolah, maka itu hanya sebatas keuntungan promosi awal tahun saja, kesananya menjadi beban yang bikin menderita. Walau saya akui orang tua kaum papa adalah sangat mengharapkan pendidikan model ini.

Lalu, saya harus bertanya kepada Anda: pendidikan itu untuk siapa? Untuk sekolah dan guru atau para politisi? Untung pendidikan itu untuk siapa? Untuk menyejahterakan guru atau pengusaha pendidikan komersil? Projek pendidikan itu untuk siapa? Untuk sekolah dan guru atau untuk kontraktor pembonceng peguasa? Bila saja Anda bisa menjawab, silahkan telepon saya, kapan saja, itupun kalau para guru punya pulsa!{}

Sekolah murah itu perlu, tapi semuanya untuk guru dan sekolah. Yang lain tolong minggir.
Bumisyafikri, 13/5/17

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun