Dulu, seorang petinggi negara Jerman, Adolf Hitler (1889-1945), dengan segala kelebihan dan kekurangannya mempunyai pandangan rasisme yang lebih lebar jika dibandingkan dengan pola pikir masyarakat kulit putih Amerika saat ini.
Sang Fuhrer berpendapat bahwa dirinya dan rakyat Jerman yang mayoritas ras Arya adalah bangsa yang berkedudukan paling tinggi dibandingkan ras-ras lainnya, meski punya warna kulit yang sama.Â
Bahkan Hitler mengobarkan prinsip race purity atau kemurnian ras Jerman di tengah-tengah masyarakatnya. Konsekuensinya adalah selain ras Arya, ras lainnya harus dihancurkan, terutama Yahudi.
Kenapa Yahudi? Selain dendam pribadi masa lalu, Hitler sangat membenci Yahudi karena pernah membaca buku suci Yahudi (Protocol Of The Elder Of Zion), yang menyebutkan bahwa bangsa Yahudi adalah bangsa paling bermartabat di dunia.Â
Jadi, pada intinya baik Hitler dan bangsa Yahudi, dua-duanya sama-sama rasis, dengan mengatakan bahwa bangsa merekalah yang paling tinggi derajatnya dan terbaik di dunia.
Setelah Eropa, rasisme juga terjadi di benua Afrika. Tepatnya di Negara Rwanda, yang melibatkan etnis Tutsi dan Hutu. Meski mempunyai warna kulit yang sama, tetapi unsur rasisme yang ditanamkan kepada kedua suku ini sejak lama mengakibatkan munculnya benih-benih kebencian antara satu dengan yang lain.
Suku Tutsi selama puluhan tahun dipekerjakan sebagai pekerja "kerah putih" oleh penjajah Belgia karena dianggap lebih "Eropa" secara fisik dari pada suku Hutu. Hal ini memunculkan kecemburuan sosial dari Suku Hutu yang hanya dipekerjakan sebagai pekerja "kerah biru".
Kecemburuan sosial yang berlarut-larut dan berlangsung cukup lama di Rwanda, akhirnya menimbulkan efek yang sangat mematikan. Ketika Belgia menghentikan kolonisasinya di Rwanda, suku Hutu yang merupakan suku mayoritas langsung mengambil alih pemerintahan dan segera melakukan aksi pembalasan.
Aksi pembalasan yang dieksekusi dengan pembersihan Negara Rwanda dari Suku Tutsi tersebut, mengakibatkan korban jiwa sebanyak 800.000 ribu orang. Sebuah genosida yang akhirnya ditandai sebagai salah satu pembantaian etnis terbesar di dunia.
Tidak ada akhir yang baik dari pemahaman rasisme ini, baik dari sisi individu maupun kelompok. Rasisme yang lahir dari ketidakmampuan menerima sebuah perbedaan justru akan membatasi kemampuan dari seorang individu dan kelompok untuk berkembang dan berinovasi.Â
Karena dunia yang dihuni oleh ratusan bahkan ribuan etnis dan suku bangsa sudah semestinya dipandang dengan sudut pandang keberagaman, bukan keseragaman.