Mohon tunggu...
Zaki Fahminanda
Zaki Fahminanda Mohon Tunggu... Lainnya - Honesty is a very expensive gift. Do not expect it from cheap people

Kombinasi Semangat dan Etika

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Membuka Objek Wisata Ketika Pandemi Masih Melanda

5 Juni 2020   11:44 Diperbarui: 12 Juni 2020   23:16 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO)

Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan di dunia, tentunya adalah surga bagi para wisatawan mancanegara yang ingin berlibur setiap tahunnya.

Dengan banyaknya kelebihan yang dimiliki, seperti iklim, cuaca serta eksotisme adat, budaya, kuliner dan tentu saja alamnya, Indonesia seakan mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda jika dibandingkan dengan negara-negara lain di benua Asia.

Akibatnya, kunjungan wisman ke Indonesia tiap tahunnya meningkat pesat. Pada tahun 2019 lalu, Indonesia tercatat mendapatkan kunjungan wisman sebanyak 16,11 Juta orang  (Data Kompas).

Dampak dari kunjungan tersebut tentu banyak sekali.  Mulai dari penerimaan devisa bagi negara, pemasukan pendapatan daerah, penyerapan investasi dan tenaga kerja hingga pengembangan UMKM di seluruh provinsi di Indonesia.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Whisnutama Kusubandio menyebutkan bahwa realisasi devisa dari sektor pariwisata pada tahun 2019 mencapai Rp. 280 Trilliun. Capaian ini meningkat 10 trilliun dari tahun sebelumnya.

Kontribusi dari sektor pariwisata yang melibatkan tenaga kerja sebanyak 13 juta orang tersebut, berimbas  pada Pendapatan Domestik Bruto nasional sebesar 5,5%.

Oleh sebab itu, banyak ahli ekonomi meramalkan bahwa selain mengandalkan potensi sumber daya alam dan mineral yang bisa habis beberapa tahun kedepan, Indonesia juga mempunyai potensi sangat besar dalam dunia pariwisata. Bahkan bisa dijadikan salah satu pondasi perekonomian negara kedepannya.

Namun, target Kemenparekraf dalam meningkatkan kunjungan wisman ke Indonesia pada tahun 2020 ini, sepertinya masih akan jauh dari realisasi. Target mendatangkan 20 Juta Wisman ke Indonesia menjadi hal yang mustahil untuk dilakukan. 

Memasuki bulan Juni 2020, pariwisata di dunia dan Indonesia dipaksa berhenti akibat adanya pandemi Covid-19. 

Sejumlah negara menerapkan aturan pembatasan travelling bagi masyarakatnya baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.

Akibatnya, kunjungan wisman ke Indonesia pada periode bulan Januari hingga April 2020, terhitung hanya sebanyak 2,77 juta orang saja. Angka ini menurun 45,01 % jika dibandingkan pada periode yang sama tahun 2019 lalu, yang terhitung sebanyak 5,03 Juta orang (Data Kemenparekraf).

Dampak pandemi ini memang tidak main-main. Dengan menurunnya kunjungan wisman ke Indonesia, akhirnya menghasilkan dampak berantai bagi beberapa sektor perekonomian, tidak terkecuali bidang pariwisata.

Kita hitung saja, seperti bidang biro perjalanan wisata. Banyak terjadi pembatalan rencana perjalanan wisata yang telah diagendakan sebelumnya.

Pembatalan tersebut mengakibatkan biro perjalanan wisata terpaksa mengembalikan uang  para konsumen dan terkadang tidak mendapatkan kompensasi dari tiket hangus yang sudah dipesan sebelumnya .

Sekjen Asosiasi Travel Agent Indonesia (Astindo), Pauline Suharno menyebutkan bahwa total kerugian seluruh perusahaan travel di Indonesia sampai akhir Februari lalu, sudah mencapai Rp. 4 Trilliun.

Setelah biro perjalanan, yang paling merasakan dampaknya adalah bidang perhotelan. Hotel yang sering mengandalkan dukungan dari biro perjalanan , dengan tidak ada support dari biro perjalanan, tingkat hunian hotel jauh lebih berkurang dari pada sebelumnya.

Di Provinsi Bali, sebagai daerah dengan tingkat kunjungan wisman tertinggi, tingkat hunian hotel pada saat sekarang ini mencapai kondisi terburuk sepanjang masa dengan capaian o% (zero). 

Kondisi ini lebih parah dari tragedi Bom Bali I dan II yang masih bisa mencapai 20 %, ataupun bencana erupsi Gunung Agung yang mencapai 60% (Data Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Kab. Badung).

Dampak dari tingkat hunian tersebut tentu pada kegiatan operasional hotel. Jika tamu tidak ada, tentu kegiatan operasional tidak bisa dijalankan. Efeknya, hotel bisa mati suri, bahkan bisa bangkrut/tutup.

Secara nasional, disampaikan oleh Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani, sejak april 2020 bahkan tercatat sudah 1.226 Hotel di seluruh Indonesia yang tutup. Penutupan hotel tersebut juga berimbas pada karyawan-karyawan mereka, yang sudah pasti dirumahkan.

Jika per hotel ada 50 orang karyawan, berarti ada sekitar 61,300 orang yang tidak memiliki pekerjaan saat ini. Hitungan kasar ini, masih khusus bagi tenaga kerja di bidang perhotelan saja, belum termasuk di bidang pariwisata lainnya yang kemungkinan lebih besar lagi.

Sektor selanjutnya adalah penyewaan kendaraan. Banyak para pengusaha rental kendaraan yang kesulitan untuk membayarkan cicilan kendaraan mereka yang tidak beroperasi.

Dengan tidak adanya konsumen yang memesan, tentunya putaran uang untuk para pegawai, administrasi kantor dan cicilan untuk pelunasan kendaraan tidak ada juga.

Meskipun ada yang memesan, namun dengan adanya larangan dan pembatasan sarana transportasi, tetap saja tidak bisa dilakukan secara optimal.

Kondisi buruk ekonomi dari bidang-bidang tersebut, belum dihitung dengan data bidang lainnya seperti seperti rumah makan/ restoran wisata, pusat oleh-oleh khas daerah serta UMKM pendukung dunia pariwisata yang justru mengalami kerugian yang lebih parah.

Solusi Kebijakan

Dengan pemberlakukan kebijakan new normal yang akan diambil oleh Pemerintah, peluang mengembalikan kondisi perekonomian dapat terbuka kembali. Akan banyak program-program dan kegiatan yang bisa dijalankan untuk memulihkan sektor-sektor pendapatan daerah, termasuk pariwisata.

Apresiasi yang cukup besar bisa diberikan kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, yang dalam waktu dekat akan melaksanakan kebijakan pembukaan objek pariwisata, dengan tagline New Normal Tourism atau Era Normal Baru Pariwisata Sumatera Barat.

Pembukaan kembali objek Pariwisata, bisa dijadikan rangsangan bagi para pelaku usaha untuk segera berpartisipasi.

Melalui pembukaan objek pariwisata, upaya pemulihan sektor -sektor yang menopang kondisi perekonomian daerah bisa terwujud. Sektor pariwisata yang mati suri akibat dampak dari Covid-19, bisa kembali hidup dan bisa memunculkan multiplier effect terhadap perekonomian masyarakat lainnya.

Kendatipun demikian, kebijakan ini tentu tidak serta merta keluar begitu saja. Kebijakan ini harus dibarengi dengan aturan keprotokolan yang ketat. Mengingat Indonesia belum terbebas dari pandemi Covid-19.

Karena jika tidak, harapan untuk memulihkan kondisi perekonomian justru akan berbalik dengan resiko dan ancaman terhadap kesehatan masyarakat. 

Pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah hingga para pelaku wisata seperti ASITA, PHRI dan organisasi lainnya diharapkan bisa duduk bersama untuk memformulasikan kebijakan khusus dalam mengawal kebijakan pembukaan objek  wisata ini.

Sumbangsih pemikiran dan saran dari seluruh pemangku kepentingan sangat diperlukan guna menciptakan kebijakan yang komprehensif agar kebijakan pembukaan objek wisata dapat saling menguntungkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, pihak swasta dan juga masyarakat.

Strategi Pelaksanaan

Strategi pelaksanaannya tentu harus paripurna. Mulai dari hulu hingga ke hilir. 

Seperti, pemberlakukan SOP (standar operasional prosedur) pada kegiatan kepariwisataan harus jelas. Mulai dari aturan yang harus dipatuhi travel agent / biro perjalanan, pihak perhotelan, pengelola objek-objek wisata, hingga para wisatawan yang akan berkunjung.

Singkatnya dapat kita contohkan sebagai berikut

Pertama, aturan bagi biro perjalanan/ travel agent. 

Biro Perjalanan bisa memberlakukan aturan khusus mulai dari kondisi kesehatan para wisatawan yang akan memakai jasa mereka hingga fasilitas dan sarana prasarana transportasi yang disediakan harus telah tersterilisasi. Selain itu pembatasan penumpang pada setiap kendaraan harus tetap dilaksanakan.

Kedua, aturan bagi pihak perhotelan.

Selain pemberlakuan standar protokol kesehatan bagi para tamu, pihak hotel juga diwajibkan melakukan standar yang sama bagi para staffnya. Membagi dua jalur jalan bagi staff hotel maupun para tamu dari kamar ke fasilitas-fasilitas hotel lainnya, sehingga potensi untuk berpapasan di lorong hotel bisa diminimalisir. Kemudian juga menjaga sterilnya fasilitas perhotelan, seperti restoran, kamar, hingga lift yang akan digunakan.

Ketiga, aturan bagi pengelola objek wisata. 

Social distancing dan penyediaan sarana prasarana kesehatan seperti  tempat cuci tangan, hand sanitizer dan posko kesehatan wajib diberlakukan pada seluruh objek wisata. Selain itu, jam kunjungan harus dibatasi dan akses masuk dan keluar para pengunjung harus dibedakan guna antisipasi penumpukan massa. 

Kemudian juga memperbanyak papan pengumuman dan staff yang menyampaikan informasi tentang protokol kesehatan kepada para pengunjung juga bisa membantu terlaksananya SOP dengan baik.

Keempat, aturan bagi sarana/tempat jual/beli

Minimalisir pemakaian uang cash dalam setiap transaksi di setiap objek dan fasilitas wisata. Hal ini dilakukan agar penularan virus melalui uang dapat dihindari. Untuk itu penyediaan sarana dan prasarana transaksi Cashless (Non Tunai) pada setiap objek dan fasilitas wisata harus dilakukan.

Untuk mudahnya memang seperti itu, tapi sebenarnya masih banyak SOP yang harus disediakan oleh pemangku kepentingan, namun pada intinya selain membuat aturan terkait protokol kesehatan, yang harus diperhatikan juga adalah keinginan untuk mematuhi aturan tersebut.

Karena sebenarnya permasalahan utama dari penanganan dan pencegahan penyebaran Covid-19 ini adalah pada komitmen para stakeholders dan masyarakat dalam mematuhi seluruh aturan yang telah dibuat.

Kita akan menjumpai nantinya dilapangan ada 3 tipe stakeholders dan masyarakat dalam menyikapi aturan keprotokolan yang telah dibuat.

Tipe pertama, stakeholders dan masyarakat yang tahu aturan dan taat pada aturan tersebut.

Tipe yang kedua stakeholders dan masyarakat yang tahu aturan tetapi tidak menaatinya.

Dan tipe ketiga adalah stakeholders dan masyarakat yang tidak tahu aturannya apalagi mematuhinya.

Dua tipe terakhir inilah yang akan membuat kebijakan membuka objek wisata agak sedikit membahayakan. Edukasi, Sosialisasi dan Kepatuhan kepada Peraturan adalah kuncinya.

Jika sudah tidak mengindahkan hal-hal tersebut, maka jangan heran, jika nanti objek-objek wisata bisa menjadi klaster baru penyebaran Covid-19.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun