Mohon tunggu...
Zakia Wishbeukhti
Zakia Wishbeukhti Mohon Tunggu... Swasta -

Learner

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

[FFA] Dahaga Rahmat

19 Oktober 2013   04:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:20 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara adzan ashar terdengar dari masjid yang tak jauh dari pasar. Ah.. sudah sore rupanya, tak tersadar ia sudah selama itu berdiam duduk di sudut pasar. Dengan sedikit gontai, ia berdiri melangkah menuju masjid, hendak mencuci muka sejenak ataupun mendinginkan badannya di rindang halaman masjid. Atau mungkin ia bisa selonjoran bahkan tiduran di halaman masjid yang bersih. Saat masuk ke ruang wudhu, seorang Bapak melihatnya sekilas, dan tersenyum kecil. Ketika Rahmat tepat berjalan di depan Bapak itu, Bapak itu tiba-tiba berkata “saya senang sekali melihat anak muda yang rajin seperti kamu, meski masih SD sudah mau bantu orangtua bekerja di pasar, dan sholat jamaah di masjid”. Bapak itu berlalu sambil mengusap rambut Rahmat pelan, dan berlalu sambil tersenyum. Rahmat hanya diam, tak merespon. Dia lanjutkan niatnya semula. Dia baru pulang ke rumah ketika menjelang adzan maghrib. Seperti biasa, omelan didapatkannya. Ia tak kaget, sudah biasa.

---

Keesokan harinya, ia ulangi kembali aktivitasnya seperti kemarin. Ia seolah mendapatkan sedikit ketenangan dengan pulang telat ke rumah, menjauh dari omelan dan ‘menghilangkan’ diri sejenak. Apalagi ketika dia duduk di emperan toko seperti biasanya, kadang ia mendapatkan beberapa rupiah, mungkin ada yang mengira dia pengemis, entahlah... yang jelas ia cukup senang mendapatkan uang itu, toh ia tak pernah memintanya.

---

Seminggu berlalu sudah, sepertinya orangtuanya mulai terbiasa dengan kebiasaan baru Rahmat pulang sore hari. Kedua orangtuanya sibuk, Ayahnya bekerja sebagai kuli bangunan, Ibunya bekerja mencuci baju beberapa tetangga. Meski ia anak tunggal, sepertinya orangtuanya malah senang kalau ia punya kesibukan sendiri, sehingga tak mengganggu.

---

Seperti biasa, saat adzan ashar berkumandang, Rahmat bergegas ke masjid, setiap kali itu juga ia bertemu dengan Bapak yang selalu tersenyum kearahnya. Namun sore itu berbeda, setelah jamaah sholat ashar selesai, Bapak itu duduk di sebelah Rahmat di halaman masjid, sambil memberinya sepiring siomay. Ia tak menolak, karena ia memang lapar, namun tak dirasanya. Apalagi dia tak perlu mengeluarkan sepeser pun untuk itu. “Toko Ayahmu yang mana?” tanya Bapak itu. Rahmat menggeleng sambil terus memakan siomaynya. “Namamu siapa nak?” “Rahmat” “Rahmat... nama yang bagus. Artinya karunia Tuhan yang sangat berharga.” “Kelas berapa nak?” “Kelas 4” jawab Rahmat singkat. “Wah.. kelas 4 SD, Bapak jadi ingat waktu Bapak masih seusia kamu...” tanpa diminta Bapak itu bercerita panjang lebar tentang masa kecilnya dulu. Rahmat hanya mendengarkan sambil menikmati siomaynya. Ia tak berkomentar apapun, namun menyimak. Bapak itu bercerita tentang masa kecilnya yang sulit, orangtuanya miskin, dan saudaranya banyak. Kemiskinannya itulah yang membuatnya hanya lulusan SD. Melihat orangtuanya bersusah payah mencari nafkah untuk menghidupi keluarga besarnya, membuatnya bertekad untuk merubah hidup, ia harus jadi orang sukses kalau sudah besar nanti, dimulai dengan membantu mencari nafkah, kalau belum bisa membantu orangtuanya, setidaknya memenuhi kebutuhannya sendiri. Bapak itu sudah terbiasa bekerja sejak kecil, mulai dari jual gorengan, makelar fotocopy buku pelajaran, tukang parkir, penjaga toko, bahkan jadi tukang panggul di pasar. Hampir semua pekerjaan dicobanya. Ia tidak malu, selama yang dilakukannya halal dan tidak membuatnya jatuh sakit. Ia sadar saudaranya banyak, sehingga menjadi ‘terlupakan’ oleh orangtuanya sejenak, ia sudah maklum. Toh semua itu dilakukan orangtuanya demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan saudara-saudaranya. Sampai suatu ketika tetangganya melihat keseriusannya bekerja, serta kejujurannya. Ia diminta membantu mengurus barang dagangannya di pasar. Ia jaga kepercayaan yang didapatnya, karena ia tahu, mendapatkan kepercayaan itu sulit, sehingga ia tak mau menyia-nyiakannya. Hingga lama-kelamaan ia dipercaya mengelola 1 toko tetangganya seorang diri, hingga menjadi beberapa toko, dan akhirnya dia bisa memiliki tokonya sendiri yang kelak dipakai berdagang bersama saudara-saudaranya. Berbagai rintangan hidup telah dilaluinya, kegagalan sudah bukan lagi momok baginya, ia sudah biasa. Karena ia tahu, kegagalan mengajarinya sesuatu. Semua diikhtiarkannya semaksimal yang bisa dilakukan. Hingga usianya yang cukup senja saat ini, 50 tahun. Ia sudah bisa menghajikan kedua orangtuanya, membantu biaya pernikahan saudara-saudaranya, bahkan membantu memberikan pekerjaan bagi banyak orang. Anak-anaknya pun saat ini sudah besar-besar, sedang menuntut ilmu, kuliah di perguruan tinggi terkenal di luar kota, dengan beasiswa. Saat ini si Bapak sudah memiliki banyak karyawan, toko, kos-kosan, juga berbagai usaha. Ia hanya perlu mengecek beberapa hal, selanjutnya semuanya sudah ada yang mengerjakannya. Ia menikmati hidup dan mengisi hari tuanya untuk beribadah, kalau-kalau Tuhan memanggilnya. Ia ingin meninggal sebagai orang yang menebar manfaat, agar cukup bekalnya nanti saat menghadap Sang Khalik.

---

Entah mengapa Rahmat tahan mendengar cerita panjang Bapak itu, bahkan piring siomay yang sudah habis dari tadi tak disadarinya, ia terus mendengarkan cerita si Bapak.

---

“Kalau kau butuh teman, jangan sungkan main ke rumahku, rumahku diujung jalan sana” kata Bapak itu sambil menerangkan lokasi rumahnya pada Rahmat dan membelinya sebotol teh dingin. Entah mengapa Rahmat merasakan kesejukan dari cara Bapak itu bercerita, bahasa yang dipakai, juga cara Bapak itu memperlakukan Rahmat. Ia seperti menemukan sesuatu yang lama hilang selama ini, keakraban, ketenangan, dan...  kepercayaan. “Pak... boleh saya belajar sama Bapak?” ujar Rahmat terbata. “Boleh, Bapak senang sekali!” sambut Bapak itu sambil memeluk erat tubuh kecil Rahmat sejenak. Kali ini Rahmat tersenyum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun