"Kita belajar bukan untuk sekolah tetapi untuk hidup", Â demikian peribahasa Indonesia yang aslinya dari bahasa Latin: "Non scholae sed vitae discimus" yang mempunyai muatan filosofis pendidikan.Â
Itu berarti belajar itu seumur hidup; sepanjang umur manusia itu. Jadi kalau belajar tentu ijazah yang akan diperoleh. Dan itu hanya merupakan salah satu indicator pencapaian akan tahap pendidikan tertentu.
Manusia belajar supaya manusia itu sendiri hidup baik dan benar. Belajar bagaikan satu mata rantai, satu benang merah penghubung sejarah hidup manusia dari lahir sampai akhir hidupnya. Sehingga belajar bisa menjadi suatu proses panjang dengan tahapan-tahapannya yang dilewati manusia sesuai dengan periode hidupnya.
Teringat akan sebuah pengalaman yang menggambarkan fakta tersebut. Saya serius dan bangga ketika melihat teman kuliah yang seumuran dengan dosen yang mengajar kami.Â
Tidak peduli kalau mereka sudah tua dan berumur lanjut. Yang pasti bahwa mereka masih duduk mengikuti kuliah  seperti saya di tahun ajaran kala itu, pada  30 tahun silam.Â
Itu merupakan satu dari sekian contoh yang ada, dan bisa  melukiskan fakta bahwa pembelajaran bagi manusia terjadi sepanjang umurnya.
Ungkapan-ungkapan pendidik dan pedagogi, seperti terlihat di atas (dan atau yang lainnya), jelas ditemukan dalam bidang Pendidikan manusia. Keduanya mempunyai muatan yang berbeda meski berada dalam bidang cakupan yang sama.
Lebih lagi unsur-unsur ungkapan itu tidak boleh dilepaskan berdiri sendiri sehingga dengan demikian sering dilihat seperti kembaran. Tetap memiliki unsur-unsur yang sama tetapi ada yang membedakan keduanya.
Seperti edukator, pedagog, lingkunga pendidikan, sekolah, masyarakat, keluarga, rumah sakit, klinik psikologi, tempat dan lingkungan pelayanan sosial dan animasi, kelompok rekreasi, anak didik serta lain sebagainya.
Bertolak dari dan sejauh pengalaman yang dialami, maka perlu untuk membuat semacam pemaparan klarifikasi dasar menyangkut esensi konsep yang ada itu dan bagaimana pemaknaannya di dalam prakteknya.Â
Dengan kata lain, konsep dan ungkapan itu perlu didefinisikan (ulang) sehingga ada pemahaman yang lebih jelas untuk uraian selanjutnya dalam tulisan singkat ini.
Untuk sementara, kita berfokus pada kedua ungkapan yakni pendidik dan pedagogi. Ungkapan konseptoris pendidik  mengacu pada pandangan sosial yang dimiliki, tugas yang diembankan dan dipercayakan kepada pendidik dan atau yang dikerjakannya.
Di dalam tatanan masyarakt yang lebih terorganisir dan tersusun, fungsi edukator/pendidik itu bisa dilimpahi sebagai satu warisan kekeluargaan atau sosial masyarakat kepada lebih dari satu orang, terlepas dari "ijazah" yang diraihnya dan sistem seleksi yang dibuat oleh pemerintah (testing CPNS).
Umumnya diterima dan diakui bahwa pendidik itu dapat memastikan satu formasi, pembinaan dan pendidikan dalam masyarakat, khususnya kepada "mereka yang memerlukannya". Secara implisit, masyarakat dan lingkungan sosial itu memberikan posisi otoritas kepada edukator / pendidik di dalam relasinya dengan "yang dididik". Â
Relasi otoritas antara edukator dan anak / yang (di) didik selalu menjadi lahan analisa fungsi sosial yang dimainkan oleh edukator / pendidik. Seorang pendidik mempunyai otoritas mendidik dan "mempengaruhi" yang dididik.Â
Dan itu merupakan satu fungsi "sentral". Dalam sudut pandang ini kita perlu melihat model pedagogi yang dipakai dan berlaku umum dalam bidang pendidikan dan pengembangan manusia.
Jauh-jauh di era sebelumnya, pendidikan, umumnya dipahami dengan konsep " apa yang terjadi dalam lingkungan sekolah". Ini merupakan satu pandangan reduktris tentang pendidikan.Â
Maka pendidik/edukator adalah guru yang bertanggungjawab mengajar sekelompok anak / orang yang (di) didik dalam satu periode waktu tertentu.Â
Bertolak dari paham ini, tidak terlihat tempat untuk "instruksi pendidikan" dan atau model pilihan yang dipakai dalam relasi antara guru / edukator dengan anak/orang yang (di)didik.
Pemahaman tentang pendidikan, edukator / guru yang direduksi itu, dewasa ini bisa diperluas. Berarti semua pihak yang menjalani fungsi pendidikan / formasi  dan pengembangan orang lain dipandang sebagi educator / guru.
Dalam hal ini, tidak hanya ada relasi edukatif antara educator / guru dengan murid atau anak didik, tetapi juga ada beberapa  elemen lain, seperti, orangtua dalam relasinya dengan anak-anak dalam keluarga; dokter / perawat dalam relasinya dengan pasien-pasien; seorang monitor dalam relasinya dengan anggota kelompok rekreasi; seorang psikolog dengan .... ; seorang animator dengan anggota kelompok animasi; seorang pekerja sosial dalam relasinya dengn anggota kelompok bantuan sosial; seorang fasilitator atau ketua KBG dalam relasinya dengan anggota umat di dalam Komunitas Basis Gerejawi (KBG) tertentu, dan lain-lain.
Dengan itu, ditegaskan bahwa perluasan pemaknaan konsep edukator/guru/pendidik itu penting dan relevan dan pada hakekatnya bersumber pada pola partisipasi dan keterlibatan dalam relasi dengan pembinaan kelompok sasaran  dan pengembangannya.Â
Relasi fungsional edukatif  yang terbangun itu seharusnya mempunyai nilai tambah bagi "yang dididik"; dalam artian mereka harus diperkaya dengan pengetahuan, kebajikan dan nilai-nilai etis-moral.
Fungsi edukatif Pendidik itu terlihat kompleks. Hal itu dikarenakan oleh sejumlah alasan. Umpanya dari pendidik itu sendiri, antara lain: kondisi dan suasana pendidikan, latar belakang pendidikan, pedagogi dan teknik keterlibatan dan partisipanya, harapan-harapanya, dan juga kerumitan fungsi edukatif pendidik itu berhubungan dengan "orang / anak (di) didik", seperti perkembangan pribadi dan kepribadiannya, harapan dan kesibukan, tingkalaku dan reaksinya terhadap pengaruh lingkungan.
Disamping itu ada kaitan permasalahan dengan jadwal atau roster jam belajar-mengajar. Faktor-faktor itu membuat terjadinya kompleksitas permasalahan dan pemahaman bagi seorang pendidik. Jadi hal itu akan sangat membantu kalau itu dibuat analisa refleksif untuk membantu pemahamannya.Â
Ungkapan kedua yang harus dicermati adalah Pedagogi. Pada prinsipnya, dari sekolah dasar sampai pada perguruan tinggi dan universitas masih ada  pedagogi yang terkandung dalam teknik, cara partisipasi dan keterlibatan seorang dosen atau professor dalam sistem belajar mengajar, meskipun ada pendapat yang beranggapan bahwa pedagogi itu hanya ada dalam diri para pendidik di tingkat dasar, menengah dan atas. Kalau di tingkat perguruan tinggi atau universitas tidak lagi diperlukan. Yang jelas hanyalah pola belajar mengajar biasa yang dikenal umum.
Kelihatan sikap dan semangat reduktrisnya. Namun amatlah penting kalau dibuat sejenis angket atau pertanyaan biasa mengenai teknik partisipasi dan keterlibatan seorang dosen atau professor dalam sistem belajar mengajar menyangkut "pedagoginya".Â
Maka akan kelihatan bahwa di setiap tindakan dosen atau professor untuk terlibat dan partisipasi (intervensi) ada pedagoginya walau terkadang tidak disadari dan kurang diartikulasikan.
Demikian juga bagi pihak lain. Orangtua, umpamanya, mempunyai pedagogi untuk anak-anaknya; Animator atau fasilitator juga mempunyai pedagogi; Konsultan atau psikolog juga mempunyai pedagogi terhadap klienya.Â
Dan juga bagi para dokter atau perawat. Jadi kalau dicermati maka ada perluasan pedagogi dan makna  yang terkandung di dalamnya.
Namun bisa dikatakan bahwa pedagogi setiap pemangku tugas dan spesifikasi pelayanan itu kurang diperhatikan dan disadari seperlunya oleh pihak-pihak terkait. Umumnya orang merasa aman dan nyaman pada satu "cara bertindak / berbuat" dan kalau itu baik dan tidak dipersoalkan.
Pedagogi seorang pendidik adalah caranya berelasi; cara dia berkontak dengan yang dididik. Dan itu meliputi visinya tentang dunia, nilai-nilai yang dianutinya, strategi-strateginya, dan alat-alat bantu dalam pelaksanaan tugasnya. Pedagogi dianggap sebagai mahkota pekerjaannya dan sumber inspirasi dan perspektif bagi tugas pelayanannya.
Pedagogi seorang pendidik itu implisit. Memang itu ada tetapi tidak diidentifikasikan dan bahkan tidak dikenal oleh anak/orang yang (di) didik. Dia boleh diamati sejauh melalui condisi, tuntutan, praksis keterlibatan dan tingkahlaku seorang pendidik.
Sementara itu, tidak banyak pendidik yang juga tidak mempunyai waktu atau tidak menyisihkan waktu yang cukup untuk membuat semacam analisa kritis menyangkut caranya berpartisipasi dan atau terlibat dalam proses belajajar mengajar. Bisa saja muncul pertanyaan-pertanyaan yang menyentuh hal itu.
Ada yang ditampilkan sebagai berikut, apakah sulit atau tidak mungkin membuat analisa tentang pedagogi seorang pendidik karena keduanya sangat erat bersentuhan? Atau, apakah enggan membuat hal itu karena takut ketahuan kalau cara dan teknik partisipasi dan keterlibatan itu tidak tepat atau sebaliknya?Â
Apakah dengan membuat analisa atau evaluasi tentang hal itu akan muncul sekian banyak lagi diskur agar akan lebih sesuai dengan kenyataan lapangan? Atau, makna dari analisa atau evaluasi itu hanya sebatas diskur teoritis dan tidak ada langkah berikutnya sebagai satu tindakan riil akan pembuatan hal tersebut?
Pedagogi merupakan poros fungsional edukatif bagi seorang pendidik. Cara atau teknik pelaksanaannya akan lebih berkesan, meninggalkan bekas partisipasi dan keterlibatan seorang pendidik dari pada prinsip-prinsip teoritis yang diketahui.
Pedagogi hendaknya dijadikan sebagai sesuatu milik pribadi. Karena melalui tingkat kepemilikan akan pedagogi itu akan lebih mudah juga menularkan nilai-nilai dan konsep pribadi kepada yang dididik dan perkembangannya.Â
Dikatakan bahwa pedagogi itu satu seni dan sekaligus satu ilmu pengetahuan terapan. Ada pada tubuhnya, prinsip penalarannya dan pedagogi itu bagian dari diri pendidik dan posisi kedudukan atau status sosialnya.
Unsur konstitutif dasar dari bidang pendidikan, antara lain pendidik dan pedagoginya. Pemaknaan akan kedua unsur dasar itu cenderung berubah.Â
Dari pandangan reduktris bergeser lebih meluas sesuai dengan perkembangan subjek pendidikan dan anak didik. Tentu itu sejalan dengan tuntutan dan kebutuhan zaman. +
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI